Suatu hari, ada seseorang yang merasa kue-kue itu amat nikmat dan merasa kue itu selayaknya dibagi kepada siapapun, tidak perduli dan memikirkan perasaan tukang kue, orang tersebut mencuri kue-kue itu dan dilempar kepada siapapun yang bisa menikmati kue tersebut.
Anak tukang kue itu amat marah dan merasa bahwa kue buatan orangtuanya dirampas begitu saja, dan mencoba menasehati si pencuri kue itu.
Ternyata pencuri itu menjawabnya dengan jawaban sinis dan menggunakan ayat-ayat dari kitab suci sebagai pembenaran pencurian itu. Pencuri itu mengatakan dengan lembut,
"Jika ada seseorang yang meminta bajumu, berikan jubahmu. Pahala dari orangtuamu itu akan memperindah tanah para Buddha dan menolong yang menderita di tiga lapisan alam, serta memperindah tanah para Buddha. Berdana adalah perbuatan yang mulia."
Tidak disangka ternyata pecuri itu berlaku bak seorang agamawan nan soleh dan suci dengan mengutip kata-kata indah dari berbagai kitab suci.
Anak tukang kue itu amat sangat terkejut dan bingung, benarkah apa yang dikatakan pencuri itu ? Apakah memang seharusnya seperti itu ? Iapun bingung dan mencari jawaban dari teman-temannya, meminta saran. Teman-teman anak tukang kue bukanlah berasal dari kaum agamawan, hanya manusia biasa belaka. Tapi jawaban dari teman-temannya sederhana, jika pencuri itu ingin berbuat baik, mengapa harus mencuri ?
Perbuatan mencuri itu bukanlah perbuatan mulia dan membuat pencuri itu selalu mencuri terus dan masuk dalam lingkaran karma buruk karena akan membuatnya selalu mencuri terus dan terus. Peringatan dari anak tukang kue sebenarnya pengajaran dhamma yang unggul tanpa belutan-belutan ayat-ayat kitab suci, peringatan itu adalah agar menghentikan kebiasaan mencuri dan belajar menjadi manusia yang baik, manusia yang baik tidaklah mencuri tapi meminta dan memohon. Apapun hasilnya, diberikan atau tidak, jelas jauh lebih baik dari mencuri.
Temannya yang lain mengatakan," Sadarkah dengan usaha ayahmu itu menghidupi banyak orang yang bekerja dengan halal, mulai dari penjual terigu, telur, karyawan hingga penjual kue yang ada di pasar. Semua itu dihidupi oleh karya ayahmu yang amat sangat terlihat sederhana, hanya kue." Temannya yang lain menambahkan, "Bukankah ayahmu selalu membagikan kue yang tidak laku kepada kaum yang tidak berpunya ? Bukankah ayahmu mengajarkan membuat kue agar orang lain bisa membuat kue ?"
Jawaban-jawaban dari teman2nya beragam;
"Jika si pencuri memang benar memiliki tekad yang mulia, mengapa ia tidak membuat kuenya sendiri dan mencuri kepunyaan orang lain atau mengambilnya tanpa ijin ?".
"Perjuangan ayahmu membuat kue patut dihargai dan menghidupi serta mengenyangkan banyak orang, penghidupan itu dilakukan dengan banyak cara, setiap usaha dalam kehidupan manusia menunjang kehidupan yang lain. Cara mengenyangkan perut orang tidak selalu harus dilakukan dengan mencuri."
Manusia memiliki etika kehidupan, salah satu etika adalah janganlah engkau mencuri, janganlah selalu mencari pembenaran atas kesalahannya sendiri dengan menutupi kata-kata bijak, itu adalah orang yang munafik. Perbuatan seperti itu akan berulang terus dan terus sehingga kilesa menutupi batinnya dan beranggapan mencuri adalah perbuatan yang sah dan benar. Manusia juga terkadang berpikir pendek, mencuri untuk orang lain adalah benar, tanpa berpikir bahwa dengan curiannya itu malah membunuh secara perlahan-perlahan tukang kue dan semua komponen yang terkait dengan usaha kuenya itu. Mungkin si pencuri tidak menyadari bahwa perbuatannya membunuh banyak kehidupan, karena dirinya beranggapan apa yang dilakukan adalah tindakan mulia yang mana sesungguhnya sedang menanam karma buruk.
Apa moral dari cerita ini ? [Chendra Ling Ling]