Beberapa menit kemudian sebuah mobil pick-up tua terengah-engah melintas. Lalu berhenti persis di depannya. Dari dalam keluar seorang lelaki muda berpakaian lusuh seperti montir. "Apa yang bisa saya bantu, Bu? Nama saya Joni." Bercampur rasa takut, curiga, dan khawatir, wanita tersebut mengutarakan masalahnya. Tak lama problem teratasi. Ban belakang yang pecah, sudah diganti dengan ban serep.
"Terima kasih Nak atas pertolonganmu. Saya mesti bayar berapa sebagai balas jasa?" si wanita bertanya.
Joni sama sekali tidak berpikir tentang uang. Niatnya tulus, menolong sesama yang membutuhkan bantuan. "Maaf Bu, sebaiknya berikan saja uang itu nanti kepada orang yang butuh pertolongan. Saat itu Ibu bisa mengingat saya," ujar Joni.
Singkat cerita, wanita tersebut melanjutkan perjalanan. Tengah hari ia sampai ke sebuah restoran kecil pinggir jalan. Meski sederhana, makanannya enak. Ia dilayani dengan sangat baik oleh seorang wanita muda yang sedang hamil tua. Dalam hatinya ia kasihan melihat pelayan tersebut masih bekerja keras dalam kondisi perut buncit. Sekelebat muncul bayangan si Joni, yang telah menolongnya. Ketika Sang Pelayan masuk untuk membereskan piring-piring, ia meninggalkan lima lembar uang seratus ribuan di bangku.
Sang Pelayan terperanjat melihat uang di bangku tamunya yang telah pergi. Ia menemukan tulisan di kertas tisu, "Terimalah uang ini. Jangan berpikir kamu berutang budi padaku. Aku juga pernah ditolong orang, sama seperti yang kulakukan ini. Pesanku, jangan biarkan rantai kasih ini berhenti padamu."
Malam harinya si pelayan tidak bisa tidur. Ia teringat tulisan tamunya. Bagaimana wanita itu bisa tahu kebutuhan hidupku? Ia sadar tiap hari suaminya kerja keras mencari uang guna biaya persalinan bulan depan. Pemberian tamu wanita tadi siang amat meringankan bebannya. Ia lalu mencium kening Sang Suami yang tidur di sampingnya. "Ko Joni, jangan khawatir lagi. Semuanya akan beres." [Dina Kwek / Ternate / Tionghoanews]