Bicara tentang pengalaman saya sendiri, dua tahun lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah AS. Pada saat itu saya masih mabuk pesawat, ditambah lagi ketika dalam penerbangan itu pesawat bertemu dengan aliran udara kuat, sampai pesawat mendarat, reaksi mabuk pesawat saya belum juga berakhir. Teman yang menjemput saya ternyata masih tertahan di toko di tengah jalan, sewaktu menunggunya saya merasa tidak nyaman, lalu berjongkok di bawah pohon pinggir jalan.
Setelah beberapa saat, saya merasa didekati seseorang, seorang wanita muda kulit putih membungkuk mengamati saya, saya mendongakan kepala, lalu dia bertanya: "Apakah Anda baik-baik saja?"
Bagi saya, seorang yang berasal dari daratan Tiongkok, benar-benar tidak bisa percaya, di negara asing, ada orang asing begitu mengkhawatirkan ketidak-nyamanan kecilku. Saya tertegun beberapa detik, setelah tersadar saya berkata: "Ya, saya baik-baik saja."
Dia tidak percaya begitu saja dan masih bertanya beberapa kali, untuk membuktikan bahwa saya memang ok. Lantas saya berdiri. Mungkin karena etika kesopanan, dia tidak mau memaksa saya, tapi wajah pucat saya setelah muntah membuatnya masih khawatir. Di saat dia meninggalkan saya, masih menyempatkan diri memalingkan kepala beberapa kali untuk melihat saya. Putrinya yang berusia kira-kira 5-6 tahun yang berada di sebelah ibunya, juga ikut memalingkan kepala ke belakang melihat saya.
Beberapa hari lalu, saya makan siang di sebuah restoran, ketika keluar dari restoran itu, saya terpeleset karena memakai sepatu baru, saat saya hampir jatuh, orang di depan saya segera mengulurkan tangannya mencoba memegangi saya agar tidak jatuh. Setelah melihat saya kembali tegak, dia bertanya dengan tangannya yang masih menggantung di udara: "Are you OK?" Lagi-lagi pertanyaan itu, "Apakah Anda baik-baik saja?"
Apakah kebahagiaan itu? Kehidupan yang bahagia adalah, ketika dalam hal-hal detail seperti sebuah pandang mata yang hangat; sebuah pertanyaan kepedulian; sebuah gerakan tangan kepedulian; ketika semua orang mengulurkan tangan yang hangat, karena pada suatu hari, sepasang tangan ini akan terulur kepada Anda... hati yang yang baik, seperti halnya dengan bunga berembun, membawa keindahan untuk orang lain, dan untuk diri sendiri.
Belasan tahun lalu, ketika masih tinggal di daratan Tiongkok, teman sekamar di asrama dulu, menceritakan sebuah kisah nyata yang dialami seorang temannya.
Ketika dalam perjalanan pulang pada hari ulang tahun pernikahannya, teman tersebut melihat sekelompok orang berkerumun di jalan, dia mencoba melongok di sela-sela kerumunan dan melihat seseorang tergeletak di atas jalan. Sebuah kasus tabrak lari, tidak ada yang berinisiatif menolongnya. Orang tersebut masih hidup, tapi tergeletak tak bergerak. Ketika melihatnya, si korban tiba-tiba mengulurkan tangan menarik-narik celana panjang teman itu. Lantaran takut tertular sial, maka teman itu segera melepaskan diri pergi.
Setibanya di rumah, dia menghiasi ruangan rumahnya sambil menunggu sang suami pulang untuk merayakan bersama, setelah menunggu sekian lama namun tak nampak bayangan suaminya. Dia sekonyong-konyong berfirasat buruk, lalu bergegas berpakaian dan kembali ke tempat kecelakaan itu, kerumunan orang telah bubar, tapi orang tersebut masih di sana, dia mendekat dan setelah menelitinya, benar saja itu adalah suaminya... Saya tidak mengejar bertanya akhir ceritanya, apapun akhir ceritanya, gerakan melepaskan diri dari tangan yang memohon pertolongan akan membuatnya menyesal seumur hidup.
Pada 21 Desember lalu, di Tai An Shandong, ada seorang tua terjatuh, ada puluhan orang di tempat kejadian tapi tak seorang pun berani mengulurkan tangannya membantu, ketika petugas medis tiba, orang tua tersebut telah meninggal.
Shandong, kota kelahiran para filsuf dan arif bijaksana Konfusius (Khonghucu, 551-479SM) dan Mencius (372-289SM), orang tua malang yang hidupnya berakhir tidak tenteram dan damai secara ironis di Kota Tai An (bermakna: tentram-damai). Semangat humanisme Konfusius dan Mencius sudah tidak tersisa lagi.
Institut Konfusius bentukan PKT (Partai Komunis Tiongkok) di luar negeri mencatut nama Konfusius padahal mengimpor ideologi komunisme, telah diketahui kedoknya oleh pemerintah AS, kini telah dibubarkan dan mundur malu. Hanya di Tiongkok, PKT dengan leluasa berkedok mengadakan upacara ritual besar memperingati Khonghucu (tapi tanpa roh spiritual ajaran Khonghucu) dan di balik itu ajaran sesat komunisme lah yang di-indoktrinasikan terhadap orang-orang.
Di Negara demokratis pada umumnya terjalin hubungan sosial yang normal antara manusia, sebelum tahun 1949 di Tiongkok juga demikian. Karena sejak sistem itu datang ke Tiongkok, maka bagaikan kotak Pandora yang terbuka.
Dalam rangka untuk kembali ke masyarakat normal, Tiongkok terlebih dahulu harus membuang kotak Pandora tersebut, maka pada saat itu, sifat sejati manusia yang pada dasarnya baik akan terbebas lepas, otomatis Tiongkok akan kembali menjadi negeri yang beretiket dan terhormat. [Yu Haixin / Epochtimes]
***
Ingat ! Kami beserta Tionghoa seluruh Indonesia menunggu partisipasi Anda mengirim artikel -artikel tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa di kota tempat tinggal anda ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id