Jaman dahulu di Tiongkok kuno ada sebuah cerita mengenai Mendapatkan dan Memberikan yang patut dijadikan renungan. Konon ada dua orang, sebut saja si A dan si B, yang usianya di dunia fana telah berakhir, lalu kedua orang ini datang menghadap kepada Raja Neraka.
Raja Neraka setelah membaca catatan mereka di Buku Neraka, memutuskan untuk membiarkan kedua orang ini untuk kembali reinkarnasi ke dunia fana menjadi manusia, dan memberi mereka dua pilihan: pilihan pertama adalah terlahir kembali di suatu kehidupan yang memberikan, sedangkan pilihan kedua adalah terlahir kembali di suatu kehidupan yang mendapatkan.
Timbullah sifat serakah dalam diri si A, dalam hati ia berpikir bahwa dalam suatu kehidupan yang mendapatkan tidak akan mungkin ada penderitaan, tinggal duduk santai saja menikmati segala sesuatu yang telah tersedia, jadi dengan cepat si A segera merebut kesempatan untuk memilih pilihan pertama.
Sedangkan si B bukan saja tidak mengumpat karena si A sudah berhasil terlebih dahulu merebut pilihan pertama, justru sebaliknya ia berpikir, bahwa kehidupan yang memberikan harus senantiasa membantu orang lain, sungguh suatu kehidupan yang sangat bermakna!
Raja Neraka setelah mendengar pilihan kedua orang tersebut lalu menetapkan jalan hidup dan masa depan bagi kedua orang ini dengan Pena Nasibnya, dan berkata kepada si B, "Karena engkau memilih kehidupan yang memberikan, maka dalam kehidupan tersebut engkau akan menjadi seorang hartawan, yang akan engkau abdikan untuk menderma dan membantu kaum fakir miskin, sedekah-kanlah seluruh hartamu bagi orang-orang miskin."
Bagaimana dengan si A? Karena ia memilih kehidupan yang mendapatkan, maka jalan hidupnya telah digariskan untuk seumur hidupnya menjadi pengemis, yang akan selalu menerima pemberian bantuan dan pemberian dari orang lain selamanya.
Cerita ini mengingatkan kita bahwa mendapatkan atau memberikan dalam kehidupan seseorang tidak dapat diputuskan hanya dari sisi permukaannya saja. Ada kalanya kita sepertinya adalah pihak yang mendapatkan sesuatu, namun di lain pihak, di suatu dimensi yang tak terlihat, kita justru telah kehilangan sesuatu yang amat berharga hanya karena berusaha memperoleh sesuatu yang amat sepele dan tidak berarti.
Zheng Ban Qiao (baca : cheng pan jiao) pada saat menjadi pejabat, adiknya terlibat perselisihan dengan tetangga ketika sang adik membangun rumah, kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah, sampai akhirnya keduanya masing-masing membangun tembok pembatas di bagian depan rumah mereka sehingga membuat jalan di depan rumah mereka tersebut buntu, tidak dapat dilalui lagi.
Sang adik mengirim sepucuk surat kepada Zheng Ban Qiao, berharap agar sang kakak dapat membantunya untuk memenangkan persidangan kasus perselisihan ini. Namun Zheng Ban Qiao membalas surat tersebut dengan sebait puisi, yang berbunyi demikian :
Mengirim surat dari ribuan kilometer hanya demi sebidang tembok rumah,
Apa sulitnya mengalah 3 kaki bagi tetangga itu,
Tembok raksasa China yang hingga kini masih berdiri kokoh,
Tetap tidak mampu membuat Raja Qin yang mendirikannya hidup abadi.
Para tetangga yang mengetahui hal itu sangat terharu, kedua belah pihak akhirnya saling mengalah selebar 3 kaki, yang kemudian justru menciptakan suatu kebaikan yang lebih agung bagi masyarakat sekitar, yakni di wilayah itu telah bertambah lagi satu jalan kecil/gang yang baru selebar 6 kaki.
Yang patut untuk dibahas adalah sikap Zheng Ban Qiao dalam menyelesaikan masalah ini, yang mengingatkan kita untuk : Mengalah selangkah dengan didasari kesabaran dan kebesaran hati, sekaligus juga tetap menjaga ketenangan dan ketentraman hati, niscaya pikiran kita akan menjadi jernih dan kebijakan tidak akan pernah luntur dari diri kita, perselisihan dan pertentangan baru dapat diselesaikan dengan baik, yang selanjutnya dapat memutar balikkan bahaya menjadi kedamaian.
Petani yang melangkah mundur dengan tubuh membungkuk sembari menancapkan bibit padi di petak sawah memberikan kita suatu pencerahan, suatu kesuksesan baru dapat diraih dengan menunduk dan melangkah mundur (menancapkan bibit padi dapat segera diselesaikan jika dilakukan dengan cara membungkuk sambil kita melangkah mundur). Selain itu, kiasan ini juga mengingatkan kita akan filosofi tingkat tinggi, bahwa mundur sesungguhnya adalah untuk maju.
Di dalam kehidupan manusia ada banyak kejadian yang kita alami yang sepertinya kita telah mengalah, sebenarnya kita justru telah melangkah maju. Kejadian Zheng Ban Qiao di atas merupakan suatu contoh yang terbaik untuk mengilustrasikan pernyataan ini. [Tang Yi Xuan / Jakarta]
Raja Neraka setelah membaca catatan mereka di Buku Neraka, memutuskan untuk membiarkan kedua orang ini untuk kembali reinkarnasi ke dunia fana menjadi manusia, dan memberi mereka dua pilihan: pilihan pertama adalah terlahir kembali di suatu kehidupan yang memberikan, sedangkan pilihan kedua adalah terlahir kembali di suatu kehidupan yang mendapatkan.
Timbullah sifat serakah dalam diri si A, dalam hati ia berpikir bahwa dalam suatu kehidupan yang mendapatkan tidak akan mungkin ada penderitaan, tinggal duduk santai saja menikmati segala sesuatu yang telah tersedia, jadi dengan cepat si A segera merebut kesempatan untuk memilih pilihan pertama.
Sedangkan si B bukan saja tidak mengumpat karena si A sudah berhasil terlebih dahulu merebut pilihan pertama, justru sebaliknya ia berpikir, bahwa kehidupan yang memberikan harus senantiasa membantu orang lain, sungguh suatu kehidupan yang sangat bermakna!
Raja Neraka setelah mendengar pilihan kedua orang tersebut lalu menetapkan jalan hidup dan masa depan bagi kedua orang ini dengan Pena Nasibnya, dan berkata kepada si B, "Karena engkau memilih kehidupan yang memberikan, maka dalam kehidupan tersebut engkau akan menjadi seorang hartawan, yang akan engkau abdikan untuk menderma dan membantu kaum fakir miskin, sedekah-kanlah seluruh hartamu bagi orang-orang miskin."
Bagaimana dengan si A? Karena ia memilih kehidupan yang mendapatkan, maka jalan hidupnya telah digariskan untuk seumur hidupnya menjadi pengemis, yang akan selalu menerima pemberian bantuan dan pemberian dari orang lain selamanya.
Cerita ini mengingatkan kita bahwa mendapatkan atau memberikan dalam kehidupan seseorang tidak dapat diputuskan hanya dari sisi permukaannya saja. Ada kalanya kita sepertinya adalah pihak yang mendapatkan sesuatu, namun di lain pihak, di suatu dimensi yang tak terlihat, kita justru telah kehilangan sesuatu yang amat berharga hanya karena berusaha memperoleh sesuatu yang amat sepele dan tidak berarti.
Zheng Ban Qiao (baca : cheng pan jiao) pada saat menjadi pejabat, adiknya terlibat perselisihan dengan tetangga ketika sang adik membangun rumah, kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah, sampai akhirnya keduanya masing-masing membangun tembok pembatas di bagian depan rumah mereka sehingga membuat jalan di depan rumah mereka tersebut buntu, tidak dapat dilalui lagi.
Sang adik mengirim sepucuk surat kepada Zheng Ban Qiao, berharap agar sang kakak dapat membantunya untuk memenangkan persidangan kasus perselisihan ini. Namun Zheng Ban Qiao membalas surat tersebut dengan sebait puisi, yang berbunyi demikian :
Mengirim surat dari ribuan kilometer hanya demi sebidang tembok rumah,
Apa sulitnya mengalah 3 kaki bagi tetangga itu,
Tembok raksasa China yang hingga kini masih berdiri kokoh,
Tetap tidak mampu membuat Raja Qin yang mendirikannya hidup abadi.
Para tetangga yang mengetahui hal itu sangat terharu, kedua belah pihak akhirnya saling mengalah selebar 3 kaki, yang kemudian justru menciptakan suatu kebaikan yang lebih agung bagi masyarakat sekitar, yakni di wilayah itu telah bertambah lagi satu jalan kecil/gang yang baru selebar 6 kaki.
Yang patut untuk dibahas adalah sikap Zheng Ban Qiao dalam menyelesaikan masalah ini, yang mengingatkan kita untuk : Mengalah selangkah dengan didasari kesabaran dan kebesaran hati, sekaligus juga tetap menjaga ketenangan dan ketentraman hati, niscaya pikiran kita akan menjadi jernih dan kebijakan tidak akan pernah luntur dari diri kita, perselisihan dan pertentangan baru dapat diselesaikan dengan baik, yang selanjutnya dapat memutar balikkan bahaya menjadi kedamaian.
Petani yang melangkah mundur dengan tubuh membungkuk sembari menancapkan bibit padi di petak sawah memberikan kita suatu pencerahan, suatu kesuksesan baru dapat diraih dengan menunduk dan melangkah mundur (menancapkan bibit padi dapat segera diselesaikan jika dilakukan dengan cara membungkuk sambil kita melangkah mundur). Selain itu, kiasan ini juga mengingatkan kita akan filosofi tingkat tinggi, bahwa mundur sesungguhnya adalah untuk maju.
Di dalam kehidupan manusia ada banyak kejadian yang kita alami yang sepertinya kita telah mengalah, sebenarnya kita justru telah melangkah maju. Kejadian Zheng Ban Qiao di atas merupakan suatu contoh yang terbaik untuk mengilustrasikan pernyataan ini. [Tang Yi Xuan / Jakarta]
Silahkan klik menu kategori lain di bawah ini:
http://berita.tionghoanews.com
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com
Atau ngajak teman Tionghoa anda ikut gabung disini http://www.facebook.com/chinese.indo bersama ribuan teman Tionghoa lainnya.
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com
Atau ngajak teman Tionghoa anda ikut gabung disini http://www.facebook.com/chinese.indo bersama ribuan teman Tionghoa lainnya.