Menerima patukan adalah penderitaan, tapi telah memberikan kesengsaraan semula satu jalan untuk mengalir keluar.
Menggunakan kesengsaraan lahiriah untuk melepaskan kesengsaraan dalam hati, jelas penderitaannya begitu mendalam."
Ada sejenis burung kecil, dia harus memekik selama tujuh hari tujuh malam baru membuahkan satu telur. Tiada henti-hentinya memekik dengan penderitaan yang teramat dalam.
Akan tetapi, oleh karena kesengsaraan yang dideritanya selama tujuh hari ini, telah membuat kulit telurnya menjadi sangat keras. Burung kecil yang telah menetas keluar juga lebih sehat dan segar, ini adalah kesengsaraan seekor induk selama tujuh hari yang ditukar dengan kesehatan seorang anak, dan semalam suntuk tiada henti-hentinya untuk memekik adalah cara lain burung tersebut untuk melepaskan penderitaan pada tubuhnya.
Dibandingkan dengan induk burung kecil ini, para ibu muda sekarang ini, jauh lebih bahagia. Manusia memiliki bidan ataupun dokter untuk mengurusi persalinan. Manusia dapat melahirkan secara ceasar, tanpa mengalami penderitaan berat sudah dapat mendengarkan tangis bayi yang baru dilahirkan.
Akan tetapi melahirkan tanpa mengalami kesengsaraan ini, bisa meninggalkan sedikit penyesalan. Selamanya tidak bisa merasakan perasaan dimana setelah mengalami penderitaan yang menyayat hati, lalu terdengar tangisan bayi yang menggugah hati. Tak dapat merasakan perasaan bangga menjadi seorang ibu. Pada saat itu air mata yang keluar adalah air mata kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ada seorang guru musik, dia mengajar musik di sebuah sekolah yang tidak begitu ternama. Mengajar ilmu musik yang paling dasar kepada murid-murid kecilnya, membimbing anak-anak menyanyi pantun. Dari kelas ke kelas punggungnya selalu memanggul sebuah akordeon yang telah dipakai selama bertahun-tahun, seperti seekor tawon yang terbang dengan riang.
Ketika suara kekanak-kanakan keluar dari seorang pria dewasa seperti dia, tampangnya sedikit menggelikan, akan tetapi muridnya dengan sangat tulus mencintai gurunya. Begitu pun juga sebaliknya.
Hingga suatu hari, muridnya melihat pemandangan yang tidak bisa mereka bayangkan sebelumnya. Guru musik mereka sedang membimbing seorang anak laki-laki yang tubuhnya lebih tinggi sedikit darinya.
Anak itu dibawa ke lapangan untuk meniup buih warna warni. Usianya sekitar tujuh belas tahun, ketika dia tersenyum menyeringai, wajahnya penuh dengan kegembiraan seorang bocah yang berusia tiga atau empat tahun, memancarkan keanehan tidak sama dengan yang lain.
Anak itu adalah putera Guru musik itu. Pada saat dia dilahirkan, tampak kulitnya putih, mungil dan lucu sekali. Ketika dia mulai belajar berjalan, si Guru musik ini menggunakan not musik untuk mengiringi derap langkahnya.
Akan tetapi setelah anak ini tumbuh hingga berusia tiga, tubuh fisiknya tumbuh kian hari kian sehat, tetapi pertumbuhan mentalnya berhenti tidak ada kemajuan.
Tidak semua orang tua bisa dengan tenang menghadapi situasi seperti ini. Anak ini adalah seorang cacat mental bawaan. Taraf kecerdasannya terhenti pada taraf anak umur tiga-empat tahunan.
Guru musik yang dulunya selalu segar dan ceria, setelah mengetahui hal ini, hatinya dirundung kepedihan yang mendalam. Akan tetapi, mau tak mau dia harus menghadapi anaknya yang hanya bisa hidup riang gembira dan bermain, seperti anak kecil.
Meski hati selalu tersayat perih, sebagai ayah dia wajib membahagiakan anak ini seperti halnya anak-anak lain.
Oleh karena itu, si Guru musik itu melakukan upaya yang lebih banyak dibanding ayah anak yang normal lainnya. Orang luar tidak mungkin mengetahui hal ini. Meskipun sangat lelah setelah mengajar seharian, belum lagi rasa jengkel dalam menghadapi murid yang bandel, begitu wajah Guru musik ini menengok ke arah anaknya sendiri, di dalam matanya pasti merekah bunga-bunga yang penuh dengan kehangatan.
Hari-hari dimana si anak cacat mental ini tumbuh dengan riang gembira, guru musik tersebut juga dengan gembira menghadapi semua cobaan hidup ini. Ada kalanya seseorang pernah menemui si Guru musik ini tengah menangis tersedu sedan. Akan tetapi wajah tawanya selalu muncul bersama terbitnya mentari pagi.
Para murid mengatakan, ada kalanya si Guru musik ini ketika asyik melatih mereka bernyanyi, sepasang kelopak matanya perlahan-lahan dipenuhi air mata. Kemudian dia berjalan di lorong kelas, berdiri sejenak menenangkan diri. Pada saat dia kembali kedua tangannya telah dapat direntangkan kembali, dengan hangat menghadapi murid-muridnya seraya berkata, "Mari anak-anak, kita sekali lagi menyanyikan lagu gembira!"
Sebenarnya di dalam hati Guru musik ini sangatlah menderita. Akan tetapi dia telah menemukan jalan untuk mengalirkan kesengsaraan ini. Dia seperti sebatang pohon karet yang setiap hari harus merasakan goresan pisau dan harus menambal lukanya setiap hari. Dengan cinta yang tiada habisnya, dia melepaskan kesengsaraan itu dari dalam lubuk hatinya.
Ada seorang sastrawan Yunani kuno berkata, "Di tubuhku ini banyak terdapat celah, kebocoran ada di mana-mana."
Ini merupakan penjelasan yang paling kuat dari sebuah tragedi. Tragedi adalah seperti menyobek luka lalu diperlihatkan kepada orang, air yang mengalir melewati kehidupan dan telah bocor keluar dari kehidupan ini, bisa untuk membuat arak, bisa memabukkan orang, bisa menyadarkan kehidupan dan bisa membersihkan hati.
Kesengsaraan tersebut menyebabkan tubuh ini mengalami seribu luka, ratusan lubang, akan tetapi membuat jiwa ini mendapatkan peningkatan. [Ernawati H / Medan] Sumber: Epochtimes
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com