KEHIDUPAN | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 19 Januari 2013

CARA BENAR TANGGAPI KEGAGALAN

Saya dan istri saya, Eleanor, mengunjungi teman pada hari Sabtu ketika anak sembilan tahun mereka, Dana, pulang. Dana hampir menangis, tak kuasa menahan air matanya.

"Oh sayang," kata ibunya. "Apa yang terjadi pada pertandingan renang?"

Dana adalah perenang hebat. Dia berlatih keras, biasanya tiba pada tempat latihan jam 6 tiap pagi dan sesekali berenang tiap sore juga. Dan upayanya berbuah, dia sering kali memenangi pertandingan, mencetak poin untuk tim renangnya. Jelas sekali dia sangat bangga dengan kemenangan-kemenangan ini.

"Saya didiskualifikasi," ujarnya kepada kami. Dia berenang dengan baik pada pertandingan, namun melakukan lompatan awal sepersekian detik sebelum pistol ditembakkan, jadi dianggap telah mencuri start.

Kami berada di serambi rumah dan dia duduk di tangga paling bawah, tas renangnya masih di bahunya, ia menatap ke angkasa, nyaris tanpa ekspresi.

"Sayang," ayahnya berkata, "masih ada banyak pertandingan renang musim ini. Kamu akan punya kesempatan lain untuk menang."

Saya mengatakan kepadanya, "Kenyataan bahwa kamu melompat lebih awal berarti kamu sedang berusaha semampunya. Kamu mencoba untuk tidak membuang sekian milidetik dalam keraguan. Itulah naluri yang tepat. Kamu meleset dalam memperhitungkan waktunya tapi itu tidak apa-apa. Semakin sering kamu latih, semakin baik kamu melakukannya."

"Setiap perenang dari setiap tim pada suatu saat pernah didiskualifikasi," kata Eleanor. "Itu bagian dari olahraga."

"Ibu yakin pelatih akan membantumu melatih lompatan awal sebelum pertandingan berikutnya," kata ibunya, "dan kamu akan tahu kapan waktu yang tepat untuk meluncur ke kolam sehingga kamu tidak membuang waktu sedetik pun, sekaligus juga tidak melakukan start dini. Kamu akan menguasainya."

Semua yang kami katakan tampaknya tak berpengaruh padanya. Tak ada yang bisa mengubah tatapannya yang tanpa ekspresi. Tidak ada yang bisa membantu.

Kemudian neneknya, Mimi, berjalan mendekat.

Kami semua berdiri di dekat Dana, ketika Mimi melewati kami dan duduk di sampingnya. Dia memeluk Dana dengan lengannya dan hanya terdiam duduk di sana. Akhirnya, Dana menyandarkan kepalanya di bahu Mimi. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Mimi mencium kepala Dana dan berkata, "Aku tahu seberapa keras kamu berusaha untuk pertandingan ini, Sayang. Terasa sedih saat didiskualifikasi."

Pada saat itu, Dana mulai menangis. Mimi terus duduk di sana, dengan lengannya yang memeluk Dana, selama beberapa menit, tanpa berkata apa-apa.

Akhirnya Dana menatap Mimi, menyeka air matanya, dan berkata singkat, "Terima kasih Mimi."

Semua dari kami kecuali Mimi melewatkan apa yang Dana butuhkan.

Kami mencoba untuk membuatnya merasa lebih baik dengan membantu dia melihat manfaat dari suatu kegagalan, menempatkan kekalahan dalam konteks, mengajarinya untuk menarik pelajaran dari hal itu, dan memotivasi dia untuk berusaha lebih keras dan lebih baik sehingga itu tidak terulang lagi.

Tapi dia tidak membutuhkan semua itu. Dia sudah tahu akan hal itu. Dan jika dia tidak tahu, dia akan menyadarinya sendiri. Apa yang dia butuhkan? Hal yang tidak bisa ia berikan kepada dirinya sendiri, hal yang Mimi sentuh dan Mimi berikan kepadanya?

Empati.

Dia perlu merasa bahwa dia tidak sendirian, bahwa kami semua mencintainya dan kegagalannya tidak mengubah kasih sayang itu, ia perlu tahu bahwa kami mengerti bagaimana perasaannya dan kami mempunyai kepercayaan padanya bahwa dia akan mengatasinya.

Saya ingin setiap pemimpin, manajer, dan anggota tim untuk melihat bahwa, tanggapan yang menunjukkan empati terhadap kegagalan tidak hanya sikap yang paling penuh kasih, tapi juga yang paling produktif.

Empati mengisyaratkan kepercayaan. Dan orang-orang melakukan yang terbaik ketika mereka merasa dipercaya.

Ketika saya duduk dengan Anda dalam kesalahan atau kegagalan tanpa mencoba untuk mengubah apa-apa, saya membiarkan Anda tahu bahwa Anda baik-baik saja, meskipun Anda tidak berhasil melakukan dengan baik kali ini. Dan, di lain pihak, merasakan diri baik-baik saja ketika Anda gagal, membuat Anda merasa cukup baik untuk bangun dan mencoba lagi.

Sebagian besar dari kita melewatkannya. Biasanya, ketika orang gagal, kita menyalahkan mereka. Atau mengajari mereka. Atau mencoba untuk membuat mereka merasa lebih baik. Semuanya, justru sebaliknya, membuat mereka merasa lebih buruk. Hal ini juga mendorong sikap defensif sebagai tindakan mempertahankan diri. (Jika saya merasa hancur setelah mengalami kegagalan, lebih baik saya mencari cara bagaimana agar hal ini tidak terlihat sebagai kegagalan saya.)

Niat kita baik, kita ingin orang itu merasa lebih baik, untuk belajar, untuk menghindari kesalahan yang sama. Kita ingin melindungi tim dan kelompok kita.

Tapi pembelajarannya, menghindari kegagalan di masa depan, hanya terjadi ketika mereka merasa baik-baik saja akan diri sendiri setelah gagal. Dan perasaan itu lahir dari empati.

Untungnya, ekspresi empati cukup sederhana. Ketika seseorang telah melakukan kesalahan atau tersandung dalam suatu hal, cukup dengarkan mereka. Jangan menyela, jangan menawarkan nasihat, jangan katakan bahwa itu akan baik-baik saja. Dan jangan takut akan keheningan. Cukup dengarkan.

Dan kemudian, setelah beberapa waktu, refleksikan kembali apa yang Anda dengar dari mereka, apa yang kira-kira mereka rasakan. Itu saja.

Saya katakan sederhana, bukan mudah. Sulit untuk hanya mendengarkan dan merefleksikan kembali. Sulit untuk tidak memberikan saran atau mencoba memecahkan masalah. Sulit, tapi layak dicoba.

Setelah beberapa waktu, Dana bangkit dari tangga, kami semua makan malam, dan kemudian dia pergi untuk menonton TV.

Kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu ketika ia datang untuk mengucapkan selamat malam.

"Bagaimana perasaanmu?" Saya bertanya padanya.

"Baik,sepertinya." Dia mengangkat bahu. "Saya masih terpukul."

Saya hampir mengatakan kepadanya agar tidak khawatir, bahwa dia akan baik-baik saja, dia akan merasa baikan esok pagi, bahwa akan selalu ada pertandingan berikutnya, dia memiliki banyak waktu untuk berlatih.

Hampir.

"Saya mengerti," kataku. "Itu membuatmu terpukul." [Imelda Goh / Jakarta]

--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak

BACA DIBAWAH INI

Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA