Setelah menikah, Qisu tinggal disebuah lereng gunung, mata pencahariaannya adalah bercocok tanam. Namun dia ingin selalu berbeda dengan orang lain. Dia sengaja menanam padi sawah ditempat yang datar dan tinggi, memilih sawah yang berair untuk menanam gandum.
Orang tuanya melihat perbuatannya yang tidak menguntungkan itu, lalu menasehatinya: "Gandum cocoknya ditanam ditempat yang tinggi dan datar, padi sawah seharusnya ditanam di tempat yang rendah dan berair. Tetapi kamu melakukan hal yang berlawanan, membiarkan gandum tumbuh ditempat yang berair dan padi ditanam ditempat yang tinggi. Jika demikian pasti akan gagal panen."
Setelah mendengar nasehat orang tuanya, Qisu sama sekali tidak peduli, dan berlaku sesuka hatinya. Akhirnya setelah 10 tahun dengan susah payah bercocok tanam, setiap tahun dia selalu gagal panen, dia tidak mempunyai persediaan makan lagi. Sebentar lagi dia akan kelaparan karena tidak ada persediaan makanan lagi.
Pada saat itu baru timbul keinginannya untuk melihat bagaimana para teman dan tetangganya bercocok tanam, dia melihat teman dan tetangganya bercocok tanam menanam gandum di tempat tinggi, dan menanam padi di sawah. Hasil panennya melimpah, dia langsung menyesal tidak mendengar nasehat orang tuanya.
Akhirnya Qisu terpaksa menjual tanahnya dan pindah ke tempat lain untuk berdagang. Cara dia berdagang sangat tidak rasional, melihat orang lain memasok barang apa, dia juga tidak mau mengalah berebut dengan orang lain memasok barang tersebut. Setiap saat berebutan dengan orang lain.
Cara berdagang Qisu yang demikian, akhirnya barang-barang yang terjatuh ke tangannya, tidak dapat dijual lagi, harganya ditekan orang. Teman akrabnya menasehatinya, "Usahakan berdagang tidak berebutan dengan orang lain, dengan demikian, jika ada kesempatan, maka akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda. Ini adalah teori pedagang kuno mendapat keuntungan yang berlipat ganda!"
Qisu tidak mau mendengar nasehat temannya. Setelah 10 tahun berlalu, Qisu sering rugi, akhirnya dia menjadi bangkrut dan menjadi miskin. Pada saat ini dia baru teringat nasehat temannya, menyadari kebenaran nasehat temannya. Akhirnya dia mencari temannya untuk meminta maaf, "Sekarang saya tahu kesalahan saya, mulai saat ini saya berjanji akan berubah."
Pada suatu hari Qisu mengemudikan perahunya ke laut, dia mengundang istrinya ke pelabuhan bersamanya. Setelah mengantarnya naik ke perahu, istrinya berkata, "Setelah kamu sampai di laut yang dalam, engkau harus membalik kemudi kembali, jika tidak perahumu memasuki air yang dalam tidak bisa kembali lagi."
Qisu mengganggukkan kepalanya tanda mengerti dan akan mendengar nasehat istrinya. Qisu mengemudikan perahunya berjalan berhari-hari hingga sampai di laut yang dalam. Pada saat itu, sifat keras kepalanya bangkit kembali, dia tidak percaya kepada nasehat istrinya, dia terus maju ke depan, akhirnya perahunya masuk ke dalam pusaran air laut yang dalam dan terhempas ke lembah yang curam. Kapalnya kandas disana, Qisu berada di tempat yang gelap, dia sendirian dan kesepian di sana selama 9 tahun.
Pada suatu ketika ada ombak besar sehingga kapalnya terhempas kembali ke laut, akhirnya dia bisa kembali ke rumah. Penampilan yang telah berubah membuatnya sulit dikenali. Rambutnya telah memutih, kurus kering seperti tengkorak. Istri, orang tuanya dan teman-temannya tidak bisa mengenalinya lagi. Qisu dengan berlutut menyembah istrinya bersumpah, "Saya menyesal tidak mendengar nasihat orangtua, teman dan istri saya, Jika saya tidak bertobat lagi, maka matahari yang menjadi saksi akan menghukum saya."
Istrinya dengan tersenyum menjawab, "Bertobat, bertobat lagi, apakah masih berguna?" Semua orang berkata Qisu tiga kali bertobat menghabiskan sisa hidupnya. Setelah menghadapi bahaya yang mengancam nyawa, membayar dengan harga tinggi, baru bertobat, dengan sia-sia menghabiskan sisa hidupnya, apakah pantas?
Sebelum kita melakukan sesuatu hal, alangkah baiknya kita bisa berpikir dengan matang, dengarkan nasehat orang lain, jangan berbuat sesuka hati, dengan demikian kita baru akan berhasil dan sukses. [Susanti Lim / Pontianak]