Orang-orang semacam ini menyebabkan kemacetan lalu lintas! Mereka itu buta warna apa enggak sih? Mereka jalan sewaktu lampu masih merah, ketika lampu hijau mereka malah tidak mau segera jalan! Mereka itu dapat menyetir apa enggak sih? Aku berkeluh kesah kepada teman yang duduk di sebelahku, berlagak sok seperti pengemudi yang paling handal di seluruh dunia.
Beberapa hari kemudian..
Ttttiiinnnn..!
Sialan!
Mobil di belakang ribut membunyikan klaksonnya. Aku tersadar bahwa lampu telah hijau dan segera menginjak pedal gasku. Kemarin ibu jatuh sakit dan dimasukkan ke ruang ICU. Kakak laki-laki dan aku hanya bisa saling menatap ketika Ibu dianjurkan untuk segera dioperasi.
Aku sungguh menguatirkannya, karena usia Ibu yang telah lanjut dan besarnya biaya operasi. Akan tetapi jika tidak dilakukan operasi, kondisinya akan semakin memburuk. Hal yang membebani pikiranku hingga aku tidak mengetahui lampu lalu lintas telah berubah hijau. Sungguh tidak sabaran orang itu! Untuk apa sih buru-buru?! Aku sibuk mengomel sepanjang perjalanan.
Kerap kali kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang pribadi, hingga kita menyadari sebuah kebenaran.
Suatu ketika aku membaca sebuah cerita.
Seorang anak laki-laki melampiaskan kemarahan puncaknya di sebuah subway (kereta api bawah tanah) New York. Akan tetapi seorang lelaki tua yang berada di sampingnya, terlihat seperti ayahnya, malah melamun dan tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya. Banyak orang yang mengerumuni ayah dan anak tersebut, sehingga agak meredakan kegaduhan itu.
Penulis cerita ini akhirnya memberitahu kepada sang Ayah, "Tidakkah Anda melihat putra Anda membuat kegaduhan di sini? Semestinya Anda menenangkannya."
Lelaki itu akhirnya menyadari apa yang terjadi dan meminta maaf. Maafkan saya. Putra saya baru saja kehilangan ibunya dua jam yang lalu. Saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya sungguh-sungguh minta maaf.
Seketika itu si penulis cerita merasa dirinya sangat bersalah.
Ketika sesuatu terjadi, kita cenderung untuk menyalahkan orang lain, dan seringkali menuntut orang lain untuk lebih memahami kita.
Membungkukkan diri sendiri pada orang lain sangat mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Tidak seorang pun yang suci. Kita semua memiliki suasana hati (mood).
Sebelum kita melakukan sesuatu, marilah kita memikirkan orang lain.
Hal pertama yang datang dalam pikiran kita selalu bersifat emosional dan dangkal. Akan tetapi jika kita berpikir lebih lanjut mengapa mereka melakukan hal tersebut, kemarahan kita akan surut dan perselisihan akan terhindari sepenuhnya.
Jadi lain kali, di saat kita berhenti di lampu merah, bersabarlah sedikit, pemilik mobil di depan kita mungkin saja sedang melewati beberapa kesusahan atau pun cobaan berat dalam kehidupannya. [Susi Ng / Balikpapan]