Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, merupakan prinsip yang sangat sederhana, yang juga telah banyak menyemangati orang yang sedang menderita, karena setelah berhasil ditanggung akan merasakan manisnya.
Sesungguhnya, tidak ada penderitaan yang murni pahit, dengan bertukar sudut pandang, dalam kepahitan sebenarnya terkandung rasa manis. Sebab itu, bukanlah harus bertahan sampai bagian terakhir baru dapat merasakan manisnya, letak persoalannya adalah bagaimana menyikapi masalah.
Ada orang yang mengeluhkah kuliah mengejar kesarjanaan sebagai penderitaan, namun bagi orang-orang yang tidak memiliki kesempatan itu, derita tersebut ibarat adalah buah-buah ranum yang besar-besar dan segar, benar-benar nampak manis dan menggugah selera.
Ada orang yang yang menyesali ketidak-adilan nasib, karena telah mengalami penderitaan yang tidak ada habisnya, namun bagi orang yang tumbuh di ruang ber-AC yang selalu dilindungi dan dilayani, bukankah mengalami sendiri terpaan hujan dan angin merupakan kebahagiaan yang menantang? Karakter yang telah terlatih oleh gemblengan dan ujian bukankah merupakan suatu pesona tersendiri?
Teringat pada sebuah film lama, ada sebuah dialog. Seorang perempuan muda menjadi pekerja sosial di panti jompo, telah menjadi teman intim seorang kakek dan hamil.
Tak perlu lagi dibahas perasaan tidak nyamannya, diagnosa dokter paling menimbulkan derita. Dia terus mondar-mandir dalam keraguan, entah harus mendengar nasihat dokter untuk menggugurkan kandungannya, ataukah mempertahankan dan melahirkannya dengan kasih sayang seorang ibu.
Melalui malam-malam tanpa tidur lelap, perempuan tersebut memutuskan untuk tetap mempertahankan anak tersebut, sekalipun misalnya akan terlahir dalam keadaan cacat. Ketika berbincang-bincang dengan sang kakek, perempuan tersebut menimbang-nimbang pilihan pengalaman yang penuh derita batin.
Dengan tenang dia mendengar apa yang dikatakan kakek itu kepadanya, bahwa rasa sesal terbesar dalam hidupnya adalah tidak mempunyai anak sendiri, tidak pernah mengalami kecemasan sebagai orang tua.
Perempuan tersebut segera timbul semangatnya, memandangi kakek tua, dalam sekejap telah mengerti banyak. Ternyata, penderitaannya itu sebenarnya adalah kebahagiaan.
Mungkin saja, apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya, bagi orang yang tidak memilikinya adalah sebuah mustika.
Sebab itu, ketika menghadapi penderitaan, mengapa tidak membiarkan diri memandang dari kaca mata orang ketiga? Dengan menukar sudut pandang, penderitaan akan berubah menjadi kenyamanan. [Liana Liau / Surabaya]