Menyetujui dan berjanji itu terpaksa saya lakukan karena tidak ingin kerabat saya menjadi kuatir. Sungguh sulit membuat anak kecil mau memakan biji walnut. Karena, saya sendiri juga sangat tidak menyukai bau walnut, jika dimakan terasa seperti memakan sebatang kayu.
Biar bagaimana cara saya membujuk anak itu, bagaimana serunya bercerita kepada anak itu bahwa setelah memakan biji walnut bisa berubah menjadi pandai, saya tak mampu membuat matanya memandang ke arah saya, hanya menunduk asyik memainkan mobil-mobilannya sambil menggeleng-gelengkan kepala saja. Setengah jam telah berlalu, biji walnut yang di atas piring kecil tetap utuh seperti semula, satu biji pun tidak berkurang.
Akhirnya, saya membujuknya lagi, "Baiklah, bagaimana jika makan bersama Tante? Tante makan sebagian yang agak besar dan adik makan bagian yang agak kecil." Anak itu akhirnya meletakkan mainan mobilnya yang digenggamnya, mengangkat kepalanya dan menatap ke arah saya sambil mencibirkan mulut kecilnya. Dia berpikir sejenak lalu menjawab, "Tante, bagian saya yang kecil itu sekalian tante makan saja..."
Anak tersebut sudah demikian bersikukuhnya, sehingga akhirnya saya putuskan untuk menyerah.
Saya menyimpan biji walnut itu, lalu duduk kembali di atas permadani untuk menemani anak itu bermain. Lewat sesaat kemudian, saya kira anak itu mulai bosan dengan mobil mainannya, lalu saya keluarkan alat penjepit biji walnut yang terletak di bawah meja.
Bagi seorang anak kecil, alat jepitan walnut itu masih termasuk benda yang agak berat, dengan menggunakan banyak tenaga dia mengangkat alat jepitan itu dengan dua tangan kecilnya, melihat kesana kemari, dan bertanya apa fungsinya.
Saya mengambil satu biji walnut, memasukkannya ke dalam alat jepitan, men-jepit dengan kuat agar kulit walnut yang keras itu pecah, memperagakan bagaimana mempergunakan alat itu kepada anak kecil tersebut. Siapa sangka, tindakan saya itu malah menimbulkan rasa tertarik anak itu.
Mencoba berkali-kali, mengalami kegagalan, akhirnya, anak itu berhasil memecahkan kulit luar biji walnut setelah mengeluarkan seluruh tenaganya. Saya merasa gembira melihat keberhasilannya, dia sendiri juga berjingkrak kegirangan, karena terlalu bergembira hingga tanpa sadar dia memungut pecahan biji walnut itu, kemudian dimasukkan ke mulut kecilnya.
Saya segera bertanya kepadanya, apakah biji walnut itu enak atau tidak. Anak kecil itu menganggukkan kepala, dan anak itu memberitahu bahwa biji walnut yang dia jepit hingga pecah itu, sangat manis rasanya. Setelah mendengarkan perkataan anak itu, dengan tersenyum gembira saya mengusap-usap kepala kecilnya.
Biji walnut sama seperti biji walnut yang lain, hanya saja suasana hati sudah berubah. Sebelumnya, ketika dipaksa orang lain untuk memakannya, tentu saja dia merasa tidak senang. Sekarang, merupakan hasil jerih payahnya sendiri, maka rasa biji walnut itu juga berubah menjadi harum dan manis.
Kita sendiri juga merasakan hari demi hari diri sendiri berubah menjadi lebih matang, namun pada hakekatnya sifat kita masih seperti anak-anak. Semua hal jika berhasil didapatkan melalui proses usaha keras, baru bisa mengerti bagaimana untuk menyayangi. terhadap hal-hal yang bisa didapatkan dengan mudah dan setiap saat, acapkali tidak diperhatikan dan disayangi. Justru karena demikian, kita seharusnya lebih tidak takut dengan kesulitan. Karena sulit, akan membuat kita lebih tahu bagaimana untuk menyayangi. [Jasisca Wang / Jambi]