Dengan pertimbangkan membawa makanan dan air yang banyak, ditambah lagi dengan kepingan emasnya, ini pasti cukup berat. Sehingga akan membuatnya lamban kalau berjalan. Karena itu dia memutuskan, mengurangi air dan makanan, sehingga akan dapat mengurangi beban, dan memudahkan secepatnya keluar dari padang pasir.
Setelah mengarungi padang pasir, karena bekal yang dibawanya terbatas dalam waktu singkat telah habis. Ia memikul kepingan emas dan melangkah dengan susah payah di padang pasir, ia cukup menyesal hanya membawa sedikit makanan dan air. Tapi di benaknya, ia akan merasa lega kalau bisa secepatnya keluar dari padang pasir ini. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil menahan haus dan lapar sekaligus memberi semangat pada dirinya.
Ketika rasa haus dan laparnya tak tertahankan lagi, sayup-sayup ia mendengar suara lonceng unta, ia bertemu dengan serombongan pedagang yang berjalan ke arah lain di padang pasir. Di atas pundak unta rombongan pedagang itu tergantung sekantong air. Ia meminta sedikit air pada rombongan pedagang itu, namun kafilah itu tidak bersedia memberikan airnya. Kafilah-kafilah itu hendak menjual airnya dengan mahal, sebab di padang pasir, air sangat berharga.
Orang ini meraba-raba kantong yang berisi kepingan emas, kemudian menjadi ragu. Ia berpikir, kalau sudah beli air itu, maka ia dapat keluar dari padang pasir. Tapi ia takut emas yang dikumpulkan selama bertahun-tahun itu akan banyak terbuang! Ia menggeretakkan giginya, lalu berkata pada kafilah itu, "Saya tidak jadi beli, selama saya bisa menahan haus dan lapar saya bisa keluar dari padang pasir ini." Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan sambil memikul tas bawaannya. Kafilah itu menertawakannya sembari berkata : "Dasar orang kikir, perjalanan masih sangat panjang baru bisa keluar, kalau tidak ada air, kau tidak akan bisa keluar hidup-hidup." Ia tidak peduli dengan ejekan kafilah itu, melanjutkan perjalanannya.
Karena tidak ada air, ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya pusing mata berkunang-kunang, lemas tidak bertenaga. Namun ia tetap bersikeras terus berjalan, 2 hari kemudian, ia merasa dirinya hampir tidak sanggup bertahan lagi.
Tepat di saat itu, kembali ia mendengar lonceng unta, lagi-lagi serombongan kafilah padang pasir berlalu di sisinya. Lalu ia meminta minum pada kafilah ini. Tapi kafilah ini menjual airnya lebih mahal. Kalau bukan karena lemas, lapar dan haus yang tak tertahankan, sudah pasti ia akan meloncat kaget, hanya sekantong kecil air, harus menghabiskan emas yang didapat dengan susah payah selama bertahun-tahun ! Ia tidak jadi beli, lalu melanjutkan perjalanannya.
Kafilah ini berseru padanya : "Hei, kalau tidak ada air, kau tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari padang pasir. Keluarkan beberapa keping emasmu, selain dapat mengurangi bebanmu, kau juga bisa keluar dengan selamat dari padang pasir. Sebenarnya mana yang lebih penting emas (harta) atau nyawa?" ia tidak peduli dan terus berjalan.
Dua hari kemudian, dalam keadaan tidak adanya air, ia berusaha dengan susah payah berjalan sampai di ujung padang pasir, ia juga melihat asap yang keluar dari cerobong dapur di kejauhan. Tapi, karena sudah lemas di saat demikian, tidak ada lagi tenaga untuk melangkah. Akhirnya ia terkulai lemas di padang pasir .
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia menarik napas panjang sambil berkata : "Aku begitu tolol, jika sejak awal melepaskan (keterikatan jiwa terhadap hal-hal duniawi), aku tidak akan seperti ini. "Ya, dalam perjalanan hidup ini, jika ada padang pasir yang sama, kita baru bisa keluar hanya dengan melepaskan keterikatan ini. Harta benda bisa dicari kembali, tapi kalau nyawa sudah tiada maka hidup pun berakhir sampai di situ. [Rosvina Ang / Palu]