KEHIDUPAN | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 19 Januari 2012

PERKATAAN JUJUR TAK TERNILAI

Mengalami terlalu banyak kelicikan duniawi dan terlalu banyak penipuan, kadang-kadang kita sudah tidak lagi percaya masih ada ketulusan apa lagi antara manusia dengan manusia.

Mengenakan topeng, kita terbiasa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, untuk menghadapi masyarakat yang pelik ini. Licik, disebut sebagai kepintaran: orang yang berkata benar, malah sebaliknya dianggap bodoh. Melihat kondisi ini, dalam hati pasti ada suatu kesedihan yang dalam, karena perkataan jujur sebenarnya tak ternilai.

Seorang direktur perusahaan, oleh karena sekali kegagalan dalam bisnis, tidak ada seorang bawahan yang berkata jujur, terakhir memampas seluruh harta kekayaan hingga habis. Sejak itu ia mengerti, yang paling ia perlukan adalah orang yang dapat berkata jujur. Di sini, perkataan jujur merupakan harta benda.

Pada masa perang Tiongkok kuno (475-221 SM) negara Zou mengajak raja negara Qi menerima surat nasihat, mendengar kata sejati rakyat, karenanya negeri Qi kuat dan makmur, sehingga negeri tetangga pun datang memberi penghormatan, sejarah menyebutnya memenangkan perang pada kerajaan. Awal Dinasti Tang, Wei Zheng dengan perkataan jujur menasihati Kaisar Tai Zhong, muncul "Zhen Guan Zhi Zhi" (pemerintahan Kaisar Tai Zhong 627-649 M), meletakkan dasar kemakmuran Dinasti Tang dapat bertahan selama 300 tahun. Di sini, perkataan jujur, merupakan jaminan kemakmuran negara.

Perkataan jujur terlebih adalah sifat khusus sebuah kehidupan yang semestinya dimilikinya, keberanian dan harga diri, menumbuhkan cahaya cemerlang kedewaan dari kehidupan yang agung. Maka, berapa banyak orang lebih baik mengorbankan jiwa juga tetap bersikeras harus berkata jujur. Panglima Peng De Huai yang menderapkan kuda dengan pedang terhunus, meskipun mati pada siksaan dan perusakan fisik sampai cacat dalam jangka waktu yang panjang, tetap juga mengemukakan kritikan terhadap kesalahan kebijakan "lompatan besar". Zhang Zhi Xin yang meskipun saluran tenggorokan dipotong, juga tidak bersedia mengatakan perkataan yang melanggar hati nuraninya. Praktisi Falun Gong yang ditindas dengan kejam, meskipun menempuh risiko membahayakan jiwa, tetap harus berkata Falun Dafa baik, demi Falun Gong menyuarakan ketidakadilan. Di sini, perkataan jujur adalah jiwa.

Namun, berkata jujur perlu keberanian yang besar, perlu tanah yang baik. Raja negara Qi pada masa perang Tiongkok kuno pejabat maupun rakyat biasa yang dapat menunjuk kesalahan langsung di depan muka mendapat hadiah tertinggi, menyampaikan nasihat melalui surat mendapat hadiah menengah, di muka umum membicarakan kesalahan dan diketahui mendapat hadiah kecil.

Wei Zheng acap kali mengritik kesalahan Kaisar Tang Taizhong, diumpamakan sebagai kaca cermin berharga yang dapat membedakan benar salah, untung rugi. Dan orang yang berkata jujur sekarang, malah harus mengalami pukulan di mana-mana, dijebloskan ke penjara, bahkan mengorbankan jiwa. Apakah kearifan dan kelapangan hati kita masih tidak sebaik orang dahulu? [Natalia Lim / Cirebon]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA