Pada suatu hari dia pergi menemui seorang teman menceritakan duka citanya, unek-unek yang di dalam hatinya semua dikeluarkan, temannya berdiam terus mendengarkan. Setelah selesai bercerita dia lalu berdiri di depan kaca cermin, memandang rupa wajah diri sendiri yang layu di dalam cermin, dia menggerutu seorang diri: "Mengapa hidupku selalu dalam kehancuran?" Tiba-tiba temannya yang bertahan diam mengambil sebuah bangku memukul kaca cermin hingga pecah hancur! Dia terkejut dan melongo melihat pecahan kaca cermin yang berhamburan di lantai, dengan rasa bingung menatapi temannya.
Temannya berkata: "Coba lihat di dalam setiap pecahan kaca bukankah terlihat wajahmu yang utuh? Kamu bukan karena kaca cermin pecah lalu juga menjadi hancur bukan!"
Memandang wajah diri sendiri di dalam pecahan kaca yang di atas lantai, dia merasa pukulan bangku temannya menghancurkan konsep yang sudah menjadi pembawaannya, pada saat itu dia tiba-tiba menyadari: Sebenarnya hidup bagaikan kaca cermin yang saya hadapi ini, biar pun berantakan bagaimanapun, di setiap hari yang redup atau cerah bahagia, Anda selalu adalah utuh. Makna hidup tidak berada pada bentuk hidup yang dipaksakan pada Anda, melainkan adalah di dalam keadaan hidup bagaimanapun, Anda tetap bisa hidup dengan memperlihatkan jati diri yang benar-benar dan utuh. [Renata Koh / Jakarta]