Di sebelah rumah sang tukang sepatu tinggallah seorang kaya yang menggunakan seluruh waktunya untuk menghitung uang dan baru pergi tidur menjelang pagi. Ia tidak dapat memejamkan mata karena terganggu oleh senandung tukang sepatu. Ia berpikir bagaimana dapat menghentikan kebiasaan si tukang sepatu.
Pada suatu hari ia mengundang tukang sepatu ke rumahnya. Orang kaya itu memberikan sebuah tas kecil penuh berisi uang emas. Tukang sepatu itu sangat takjub. Selama hidupnya, baru kali ini ia melihat uang sebanyak itu. Setelah berterima kasih, pulanglah si tukang sepatu.
Sesampainya di rumah, ia khawatir kalau-kalau orang lain melihat uang itu, maka disimpannya uang emas miliknya itu di bawah bantalnya. Walaupun begitu, ia tetap cemas. Ia tidak bisa tidur karena selalu memikirkan uangnya. Ia menjadi gelisah. Berulang kali ia memindahkan uangnya dari satu tempat ke tempat lain di dalam rumah.
Demikianlah, berhari-hari lamanya si tukang sepatu menjadi sedemikian sibuk dengan uang emas itu sehingga ia tidak sempat lagi membuat sepatu. Ia pun tidak sempat bernyanyi lagi. Anak-anak pun sudah tidak pernah muncul lagi.
Akhirnya,si pembuat sepatu merasa kini ia justru tidak bahagia. Lalu cukup lama ia termenung. Tiba-tiba ia mengambil uangnya dan pergi ke tetangganya yang sangat kaya itu. "Ambillah uangmu kembali!" ia berkata. "Hidupku menjadi tidak tenang karenanya. Lebih celaka lagi, teman-temanku tidak mengunjungi aku lagi. Aku lebih suka menjadi tukang sepatu seperti dulu lagi," sambungnya.
Segera setelah itu ia kembali bekerja sambil bersenandung sepanjang hari dengan wajah-wajah lucu anak-anak di samping jendela rumahnya. Ia bahagia lagi. [Widya Wong / Pontianak / Tionghoanews]