"Saya hanya mengetahui bahwa kuda yang baik hanya memakan rumput yang baik, tanpa mempedulikan rumput di depan atau di belakang kuda (yang telah ditinggalkannya)."
Saya pernah sangat mengagumi kebijakan dan kemahiran tutur kata tersebut. Namun setelah dikenang kembali, rasanya hal tersebut bukan sekedar kebijakan seseorang, melainkan juga pandangan dan pikiran lurus seseorang.
Benarkah bahwa dalam perjalanan hidup manusia, seseorang jangan menoleh ke belakang (dengan kata lain mengulang kembali jalan yang telah ditempuh)? Perlukah kita menoleh ke belakang?
Ada seorang dokter yang baik hati akan dijatuhi hukuman mati karena difitnah. Menjelang pelaksanaan eksekusi, dokter tersebut berkata dengan sayu, "Aku tidak menyesali kematianku, namun sangat menyayangkan bila resep obat-obatan hasil risetku tidak dapat diturunkan untuk menolong manusia."
Mendengar hal ini, sang algojo tersentuh hatinya dan berkata, "Saya dapat memberi sedikit waktu agar Anda dapat pulang untuk menuliskan resep obat-obatan itu, baru kemudian pergi ke alam baka. Ingatlah, ketika anda telah sampai di luar penjara, berlarilah sekuat tenaga jangan hiraukan orang yang berteriak memanggilmu dari belakang, Anda jangan sekali-kali menoleh ke belakang."
Dokter tersebut berhasil pulang ke rumah, dan dengan bantuan istrinya ia dapat mewujudkan "keinginan menjelang ajalnya".
Dalam hidup manusia memang sering kali tidak mungkin untuk dapat diulang kembali. Ada yang mengatakan, "Setelah melewati usia setengah abad, manusia seperti pion catur Tiongkok yang melewati sungai, hanya dapat maju terus dengan berani." Atau mengatakan bahwa hatinya tak tahan mengenang masa lampau, berhasrat kembali namun tubuh sudah renta. Juga mengeluhkan seandainya dulu ia tahu akan demikian, mengapa harus dilakukan, dan lain sebagainya.
"Kehidupan manusia seperti ujian multiple choice." Memilih salah satu jawaban, yang salah akan mendapat nilai minus. Manusia dalam hidup boleh menyesal dan mengerjakan ulang, namun bila salah memilih jalan, tidak dapat menghindari kerugian dalam hal waktu, tenaga, emosi dan lain-lain. Namun asal kita mau balik kembali, acap kali dapat menghindari terulangnya kesalahan sama yang dapat menjerat pada situasi yang tak dapat dipulihkan kembali.
Saya sangat menyukai kata-kata yang selalu dituliskan salah seorang guru saya pada bagian bawah email, "Belajar apapun jangan merasa terlambat, mengerjakan apapun hendaknya dilakukan sekuat tenaga." Ketika kita melakukan kesalahan, asalkan mau mengubah dan memulainya lagi serta melakukan dengan segenap tenaga, maka selamanya tidak akan terlalu terlambat.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengisahkan usaha seorang istri di saat menjelang ulang tahun pernikahannya, ia menitipkan anak-anaknya ke rumah orangtuanya, karena ingin merayakan berdua dengan sang suami mengenang kemesraan saat berbulan madu dulu.
Segalanya berjalan sesuai rencana, sampai pada saat makan malam, karena sesuatu hal, suasana berubah menjadi kaku. Akhirnya sang istri mengusulkan untuk mengesampingkan hal yang membuat suasana kaku dan mengulanginya dari awal.
Maka sang suami keluar rumah sambil menjinjing tas kantor kemudian mengetuk pintu rumah. Sang istri membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum mesra. Mereka berhati-hati menghindari masalah yang membuat suasana menjadi kaku lagi, sehingga mereka berdua dapat melewati malam yang menyenangkan.
Saat masih muda, saya pernah membaca rubrik konsultasi dalam sebuah media. Ada seorang perempuan yang telah putus hubungan dengan kekasihnya, namun selalu tidak dapat melupakannya. Berulang kali ia ingin kembali ke dalam pelukannya, namun begitu teringat pepatah kuda baik tidak akan memakan rumput dari petak ladang yang telah ditinggalkannya, ia pun segera mengurungkan niatnya.
Jika di dalam perjalanan hidup, apabila benar-benar tak dapat menoleh ke belakang, mengapa pepatah zaman dahulu selalu mendorong orang yang melakukan kesalahan agar segera bertobat? Misalnya seperti anak bejat yang bertobat lebih berharga daripada emas; atau samudera penderitaan tidak bertepi, saat menoleh yang terlihat adalah daratan; serta meletakkan golok jagal, segera menjadi Buddha (Sang Sadar). Bukankah perkataan tersebut menjadi tidak berarti?
Ada seseorang yang mengikuti seorang Guru Besar untuk menjadi biksu selama bertahun-tahun. Kemudian saat ia pergi berkelana, ia tergoda dunia fana dan telah berbuat banyak sekali dosa besar. Dia kembali kehadapan sang Guru dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya. Setelah mendengar hal itu, sang Guru berkata dengan penuh kemarahan, "Kalau ingin Sang Buddha memaafkanmu, tunggulah meja persembahan tumbuh bunga!"
Biksu tersebut melihat Gurunya tidak mau memaafkannya. Karena merasa sudah tak ada harapan lagi, maka dengan lesu ia kembali ke masyarakat manusia biasa melanjutkan berbuat baik. Tak disangka pada hari kedua sang Guru melihat meja persembahan benar-benar tumbuh bunga!
Cerita ini menunjukkan bahwa Dewa dan Buddha dipenuhi welas asih yang tiada tara. Orang yang telah berbuat jahat asalkan mau menoleh ke belakang (menyesali kesalahannya), maka jalan kembali ke surga selalu terbuka! Saya sangat berharap orang yang salah jalan, cepat-cepat membersihkan kesalahan lampau, menempuh jalan pulang yang benar. Jangan mengikuti pepatah, "Dalam perjalanan hidup jangan menoleh ke belakang!" [Yenni Huang / Solo]
***
HEMAT IMPORT KARGO !!!
Kami melayani import borongan FCL & LCL dari Guangzhou, China ketujuan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang & Bekasi. Kontak "transwaycargo.com" Telp: 021-2626 4750 Fax: 021-2626 4860 Hp: 0812-9855 8800, 0856-755 0123, 0819-0880 2000 Email: pttci@yahoo.co.id
.