Sebenarnya hukum kencana ini bisa terlihat dimana-mana di dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti panjang lebar dari bendera, bahkan keras lemahnya sinar matahari, kesemuanya ini memiliki hukum yang memainkan peranannya di dalam ilmu pengetahuan, juga adalah 'tahu diri' di dalam kehidupan manusia.
Jadilah seseorang yang tahu menempatkan diri sebagaimana mestinya, ini adalah taraf yang paling tinggi dalam kehidupan. Mengerjakan sesuatu kerjakanlah hingga benar-benar tepat (sesuai), ini merupakan ilmu yang paling besar di dalam kehidupan.
Di zaman akhir Dinasti Qing, Zeng Guofan kembali ke propinsi Hunan untuk membangun pasukan yang disebut dengan Pasukan Xiang, yang kemudian berhasil merebut beberapa kota penting dari tangan pasukan Taiping (pemberontak), dan akhirnya sukses dalam serangan menggempur dan menduduki kota Jinling (ibukota pasukan pemberontak).
Oleh karenanya Zeng Guofan dianugerahi gelar sebagai Markis nomor satu. Akan tetapi pada saat itu pula, Zeng Guofan menyadari bahwa Pasukan Xiang yang dipimpinnya telah mencapai total sebanyak lebih dari 300 ribu personil, suatu bala tentara yang tidak mungkin dikomando oleh siapa pun kecuali oleh Zeng Guofan seorang.
Zeng Guofan segera merasakan bahwa hal ini akan membangkitkan kecurigaan Sang Raja terhadap menterinya yang telah berjasa sekaligus juga memegang kendali atas pasukan besar. Maka dari itu ia mulai mengurangi sendiri kekuasaan militer atas pasukan tersebut, sehingga membuat kerajaan Qing terbebas dari kekhawatiran, di samping itu juga membuatnya tetap dipercaya dan ditempatkan pada jabatan penting.
Di dalam sejarah, terdapat orang yang tak terhitung banyaknya, mereka semua telah menyumbangkan jasa yang luar biasa. Akan tetapi mereka semua tidak dapat terhindar dari nasib "habis manis sepah dibuang". Perbedaan nasib antara Zeng Guofan dan mereka-mereka ini adalah terletak pada pemikiran Zeng Guofan yang "tahu diri" dalam menempatkan posisinya sebagai menteri panglima pada waktu yang tepat.
Kita melihat di dunia yang kita huni ini, dengan adanya suatu tolak ukur yang sempurna, maka dunia kita ini baru bisa menjadi bermartabat dan harmonis.
Dengan mengamati orang-orang di sekeliling kita, maka kita akan dapat merasakan kekesalan di saat mengalami kegagalan dan juga kegembiraan di saat mencapai keberhasilan.
Memastikan dengan baik 'tahu diri' dalam kehidupan, sama dengan telah bisa memastikan nasib kita sendiri. [Anita Lie / Jayapura]