"Yang menyelematkan saya adalah perbuatan baik saya!"
"Apa itu mungkin?"
"Apa maksudmu?"
"Kami orang Kristen percaya bahwa kami diselamatkan oleh Yesus. Kematian Yesus di kayu salib telah menebus dosa-dosa kami".
"Semua dosa? Dari Dosa karena kelalaian kecil sampai dosa karena kejahatan besar, misalnya karena membunuh orang?"
"Ya, semua dosa!"
"Saya pernah mendengar yang seperti itu. Ada seorang pemuda yang berkali-kali melakukan kejahatan. Tapi ia selalu lolos dari hukuman. Kebetulan bapaknya orang berkuasa. Karena sayangnya kepada anak ia selalu berhasil mengeluarkan anaknya dari tahanan. Tapi "penebusan dosa" oleh si bapak ini telah merusak dua hal. Pertama, rasa keadilan masyarakat, khususnya orang yang menjadi korban kejahatan anaknya. Kedua, merusak moral anaknya, karena anaknya tidak pernah belajar tentang arti tanggung jawab".
"Penebusan dosa tidak memberi ijin kami untuk berbuat jahat. kami orang Kristen juga harus berbuat baik. Yang saya maksudkan adalah keselamatan di dunia akhirat. Apa yang dilakukan oleh si bapak dalam contohmu itu juga tidak sesuai dengan prinsip agama kami. Kami juga menghormati hukum?".
"Kalau begitu apakah moralitas dunia berbeda dengan moralitas akhirat? Bagi agama saya Hukum Karma berlaku baik disini di dunia ini maupun dalam hidup kami nanti setelah mati".
Demikianlah idalog yang dilakukan oleh dua orang siswa yang sedang mengikuti pendidikan pada suatu perusahaan. Yang satu Hindu dan yang lain Kristen. Mereka teman satu kamar. Mereka sering berdiskusi tentang agama masing-masing. Dengan cara ini mereka memperluas wawasan. Dan dengan wawasan yang lebih luas mereka menumbuhkan sikap toleran yang sebenarnya.
Mengapa Orang-Orang Baik Menderita?
Harold S. Khusner, seorang Rabbi (Pendeta) Yahudi telah menulis sebuah buku yang dibaca oleh banyak orang, judulnya " When Bad Things Happen to Good People" artinya ketika hal-hal buruk menimpa orang-orang baik. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Mengapa Orang-orang Baik Menderita?'
Dalam buku ini dengan sangat mengharukan, Khusner menceritakan suatu peristiwa nyata yang menimpa dirinya. Ia memiliki dua orang anak, Aaron, laki-laki dan Ariel, perempuan. Pada usia 8 bulan, Aaron mulai menampakkan perkembangan yang aneh.
Perkembangan tubuhnya sangat lambat. Setelah membawanya ke berbagai dokter akhirnya diketahui anak laki-laki itu menderita progeria, suatu penyakit yang menyebabkan seseorang menjadi tua dengan cepat dan akan mati pada usia sangat muda.
Mengetahui kenyataan ini Rabbi Khusner sangat terpukul. Sesuai dengan keyakinan setiap orang beragama, yang juga sering disampaikannya dalam kotbah-kotbahnya, ia yakin bahwa orang-orang yang berbuat baik, yang menjalankan hidupnya sesuai perintah agama pasti akan memperoleh hidup yang baik, akan terhindar dari mala pertaka. Dan sebaliknya, orang-orang yang melanggar perintah agama, yang melakukan kejahatan pasti akan dihukum oleh Tuhan.
Ia adalah seorang pendeta. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengabdi Tuhan, menyampaikan isi kitab suci kepada umatnya, orang-orang Yahudi yang menjadi jemaatnya. Lalu mengapa anak laki-laki satu-satunya harus menderita seperti itu?. Dan Aaron, masih kanak-kanak. Belum pernah melakukan kejahatan apapun apalagi kejahatan yang patut dihukum. Tapi mengapa ia ditimpa dengan penderitaan yang demikian hebat? Pendeta itu merasa diperlakukan tidak adil.
Takdir atau Karma?
Mengapa orang-orang baik menderita? Dalam hidup ini kita sering melihat kenyataan yang sulit dipahami. Orang-orang baik yang menderita. Orang-orang yang tidak baik tidak kekurangan suatu apapun. Banyak orang yang menderita sejak dilahirkan, baik karena kekurangan pisik maupun kekurangan mental atau daya pikirnya. Mengapa mereka menderita? Mengapa hal itu terjadi?.
Ada dua penjelasan mengenai apa yang tampak sebagai "ketidak adilan" ini. Yang pertama, adalah Hukum Karma. "Nasib" kita ditentukan oleh perbuatan kita sendiri. Seorang bayi yang baru lahir telah membawa buah dari perbuatannya dalam hidupnya sebelumnya.
Yang kedua adalah doktrin predestinasi atau takdir, yang menyatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Ketika Tuhan meniupkan roh pada jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya pada waktu itu juga nasibnya ditentukan. Apakah ia kelak akan menjadi orang bahagia atau menjadi orang menderita. Bahkan, apakah nanti ia akan masuk surga atau masuk neraka sudah pula ditentukan sebelumnya oleh Tuhan.
Antara kedua keyakinan ini kelihatannya sama saja. Dimana letak perbedaannya?.
Takdir mengatakan bahwa nasib kita telah ditentukan secara sepihak oleh Tuhan dan apa yang telah ditetapkan-Nya tidak dapat dirobah oleh manusia. Takdir itu harus dijalani saja. Saya pernah mendengar ceramah di televisi yang mengatakan mengapa penjual soto yang satu sangat laris sedang penjual soto yang lain disebelahnya tidak laku?. Dia jawab sendiri oleh si penceramah : itu karena takdir Tuhan. Tuhan campur tangan secara langsung terhadap hidup kita.
Hukum Karma mengatakan hal yang lain, Kitalah yang menentukan nasib kita. Mari kita jelaskan hal ini dengan suatu pengandaian. Setiap perusahaan pada akhir tahun membuat perhitungan-perhitungan yang disebut tutup buku. Pada waktu itu dihitunglah biaya-biaya (kewajiban-kewajiban, hutang-hutang) yang telah dikeluarkan dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh.
Bila jumlah biaya lebh besar dari pendapatan maka perusahaan itu disebut rugi. Bila pendapatan lebih besar dari biaya maka perusahaan itu untung. Berdasarkan fakta ini perusahaan itu melakukan kegiatannya pada tahun ini. Bagi perusahaan yang menderita rugi, pada tahun ini ia harus bekerja lebih keras agar paling tidak ia dapat menutup kerugiannya serta melanjutkan usahanya di tahun-tahun kemudian. Bagi perusahaan yang untung tetap juga harus bekerja keras agar ia terus berkembang.
Demikian pula dengan manusia. Bila dalam kehidupan yang lalu kita lebih banyak "hutang", maka hidup kita kini akan merasa lebih berat. Dan kita harus bekerja lebih keras untuk melunasi utang-utang tersebut serta menambah modal bagi hidup kita sekarang. Bila karma-karma dalam hidup kita kini akan terasa lebih ringan. Tapi kita tetap harus bekerja keras. Sebab kalau kita bermalas-malasan modal itu bisa makin berkurang atau habis. Apalagi kalau kita menyalahgunakan modal itu, boleh jadi ia akan berbalik menjadi hutang yang berat.
Jadi itulah perbedaannya. Takdir tak bisa dirubah. Bila anda ditakdirkan menderita, apapun yang ada lakukan anda tetap menderita. Bila anda ditakdirkan masuk neraka pikiran dan perbuatan anda akan mengikuti takdir itu. Sedangkan melalui karma hidup kita bisa dirubah. Dalam wiracarita Mahabarata dikisahkan seekor cacing, melalui usahanya secara bertahap berkembang menjadi manusia utama.
Tiga Jenis Karma.
Bagimana kita menjawab pertanyaan Rabbi Khusner? Mengapa seorang anak kecil yang tidak berdosa ditimpa penderitaan yang begitu hebat?.
Doktrin Takdir menjawab : "Itu kehendak Tuhan" Mengapa Tuhan berkehendak demikian?. Jawabnya : "Mungkin ada maksud mulia dibalik penderitaan yang dialami anak kecil itu". Mengapa untuk suatu tujuan mulia Tuhan merusak kehidupan seorang anak kecil? Mungkin akan dijawab : "Kehendak Tuhan tidak semua bisa kita pahami. Hanya Dia yang tahu".
Memang lebih gampang mengatakan bahwa penderitaan kita disebabkan karena kehendak Tuhan. Jauh lebih berat rasanya untuk mengakui bahwa penderitaan kita merupakan akibat dari perbuatan kita. Namun dengan mengatakan bahwa Tuhanlah penyebab dari penderitaan kita, kita telah melemparkan tanggung jawab kita kepada Tuhan. Dengan kata lain kita sebenarnya menuduh Dia bekehendak sewenang-wenang dan tidak adil.
Jika menurut Hukum Karma apa yang kita alami sebenarnya hanya merupakan buah dari perbuatan kita, mengapa anak kecil yang belum bisa berbuat apa-apa mendapat penderitaan?.
Berdasarkan jarak waktu antara perbuatan dilakukan dan hasilnya diterima, terdapat tiga jenis Hukum Karma. Perbuatan yang hasilnya langsung diterima dalam kehidupan kita sekarang disebut Prarabda. Perbuatan dalam hidup kita sekarang yang hasilnya kita terima dalah hidup atau kelahiran yang akan datang disebut Sanchita. Perbuatan yang kita lakukan dalam hidup kita terdahulu yang hasilnya baru kita terima sekarang disebut Kriyamana.
Apakah menurut Hukum Karma kita harus memikul hasil dari perbuatan orang tua kita. Apakah Hukum Karma sama dengan dosa turunan?.
Di dunia ini belum ada seorang anak dihukum pidana, dimasukkan penjara karena kesalahan bapaknya. Kita tidak memikul karma dari orang tua kita. Tapi benar bahwa kita terpengaruh oleh karma orang tua kita.
Misalnya kalau orang tua kita menjadi direktur bank yang besar kita akan mendapat kemudahan- kemudahan. Kita tinggal di rumah yang lebih baik. Bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi pada sekolah yang lebih baik. Lingkungan menghormati keluarga kita. Tapi kalau kemudian Bapak kita dihukum penjara karena misalnya, menyalahgunakan kekayaan bank tersebut, kitapun merasakan akibat buruknya. Kita merasa malu pada masyarakat. Rumah kita yang mewah mungkin ikut pula disita. Tapi yang masuk penjara tetaplah bapak kita. Pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Bila kita menderita bolehkah kita memohon agar penderitaan kita dihapuskan?
Hukum karma sama sekali tidak boleh menyebabkan kita melalaikan Tuhan! Dalam Bagawad Gita misalnya dikatakan bahwa kewajiban kita adalah melakukan tugas-tugas kita dengan sebaik-baiknya, bukan untuk menentukan hasilnya. Doa dan sembahyang merupakan sarana kita untuk mengadakan komunikasi dengan Tuhan. Penderitaan seringkali membuat kita merasa lebih dekat dengan Tuhan.
Bila penderitaan kita dihapuskan, tidakkah berarti Tuhan mengambil tanggung jawab kita? Tidakkah berarti Dia melanggar Hukum Karma?
Sebuah perbandingan mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Seorang diktator memerintah sesuai kehendaknya sendiri. Ia tunduk pada hukum. Kehendaknya sendiri adalah hukum. Ia menghukum siapa saja yang tidak disukainya. Memberi hadiah siapa saja yang disukainya. Tidak peduli apa perbuatan mereka itu.
Seorang presiden memerintah berdasarkan hukum. Sekalipun ia yang membuat hukum bersama wakil rakyat, ia tunduk pada hukum itu. Ia mengatur masyarakat melalui hukum. Dengan demikian tidaklah berarti presiden lalu tidak dibutuhkan lagi. Presiden masih mempunyai banyak hak-hak istimewa. Misalnya hak untuk memberi grasi atau amnesti. Berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tertentu seseorang yang sudah jelas bersalah, dapat diberi pengampunan oleh Presiden. Misalnya karena orang tersebut menyatakan penyesalannya dan bertekad akan memperbaiki kesalahannya.
Tapi tentu saja tidak setiap dosa diampuni. Kalau setiap kejahtan diampuni, apa artinya keadilan? Apa gunanya hukum dan penegak hukum? Kalau kejahatan dibalas dengan kebaikan, lalu dengan apa kebaikan dibalas? Kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang adil, untuk menyadarkan si pelaku tentang makna tanggung jawab.
Apakah Hukum Karma adalah Hukum Balas Dendam?
Adalah suatu kesalahan bila kita melihat Hukum Karma dalam penderitaan. Bila teman kita sedang tertimpa kesulitan kita akan berkata : "Itulah karmanya". Tapi bila teman kita sukses dan berhasil dalam hidupnya, kita jarang mengatakan : "Itulah karmanya". Tapi biasanya kita mengatakan : "Ya, nasibnya baik". Dengan bersikap demikian kita seolah-olah senang bila ada orang lain menderita dan senaliknya tidak senang mengakui keberhasilan mereka.
Keberhasilan kita juga merupakan akibat dari karma kita. Namun sebagai orang beragama kita tentu akan mengatakan semua ini hanya karunia Tuhan semata-mata. Tapi Tuhan tidak akan mengaruniakan kita sesuatu bila kita tidak pantas menerima karunia Tuhan? Ya, karma-karma baik kita.
Jadi Hukum Karma bukan hukum balas dendam. Hukum Karma hanya menetapkan hubungan sebab dan akibat, perbuatan dan hasil. Ibarat kita menanam pohon. Pahit atau manis buah yang kita petik tergantung dari pohon yang kita tanam.
Hukum Karma menjamin berlakunya keadilan dalam kehidupan manusia. Tanpa keadilan semacam itu hidup didunia ii tidak ada gunanya. Tanpa Hukum Karma agama hanyalah sekedar menjadi alat penghiburan. Seperti obat penenang yang menghilangkan rasa sakit namun tidak menyembuhkan penyakitnya. Tanpa Hukum Karma Tuhan adalah diktator yang kejam dan sewenang-wenang. Hanya hormat atau rasa takut yang membuat kesewenang-wenangan tampak sebagai keadilan.
Apakah Makna Hukum Karma bagi Kehidupan Kita?
Tukang soto yang kurang laku dan ia percaya kepada dogma takdir akan menerima dengan pasrah bahwa sudah merupakan kehendak Tuhan sotonya tidak laku, dan bahwa sudah takdir pula soto teman disebelahnya sangat laris. Semua itu sudah kehendak Tuhan. Bila tukang soto itu percaya pada Hukum Karma ia akan bertanya mengapa sotonya tidak laku dan mengapa soto temannya laris? Mungkin rasa sotonya kurang enak? mungkin harga sotonya lebih mahal? Mungkin cara melayani pembeli tidak ramah? Atau warungnya kurang bersih?.
Takdir meminta orang pasrah atas nasibnya. Hukum Karma membuat orang harus mengambil tanggung jawab atas nasibnya sendiri. Takdir mungkin membuat orang damai dalam kepasifan. Karma membuat kita mengambil tanggung jawab aktif untuk merubah dan memperbaiki hidup kita sekalipun untuk itu kita harus menghadapi kesulitan. [Sri Swarni Siwananda / Denpasar]
* DA JIA PENG YOU - XIN NIEN KUAI LE - GONG XI FA CHAI *