Setelah melihat sekeliling, air matanya menetes keluar dari sudut matanya, membasahi handuk yang membungkus bantalnya. Hati saya terasa sakit bagai disayat pisau. Air mata yang tak berdaya ini, seakan mengandung ketidak-relaannya untuk meninggalkan keluarga, nostalgia terhadap dunia, kehausan akan hidup dan terhadap penyakit yang selalu menang dalam pertempuran. Air mata ini menggantung di mata ayah, malah sudah merembes ke dalam hati orang-orang disekitarnya. Seumur hidup, baru pertama kali saya merasakan kesedihan yang tak terlukiskan karena kehilangan orang terdekat.
Dalam ingatanku, ayah seorang yang sederhana dan pria tulen yang tidak pernah meneteskan air mata. Oleh karena keluarga saya sudah jatuh miskin, ayah yang sejak kecil sudah mengalami berbagai badai dalam kehidupan, dia selalu menghadapi semua ini dengan tenang, dengan sebuah motto 'bukan masalah besar'. Dia pandai dan baik, memegang teguh prinsip menjadi orang harus bisa bertanggung jawab dengan hati nurani sendiri.
Demi keluarga, dia rajin bekerja, hampir boleh dikata bersusah payah setengah mati. Sebenarnya ia seorang penggemar makanan lezat, tetapi di siang hari dia sering hanya makan roti tawar untuk mengenyangkan perut. Saat menerima gaji, dia baru akan membeli masakan kesukaannya.
Ayah mempunyai banyak sekali pepatah bagi dirinya, yang berperan penting bagi anak-anak dimasa pertumbuhan mereka. Dia sering mengajarkan kepada kami, jika mempunyai seberapa besar kulit, buatlah genderang sebesar kulit yang Anda miliki itu, melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan diri, namun jangan ambisius. Pepatah tersebut hampir menjadi prinsip saya di kemudian hari.
Ayah bukan hanya tegas dan ulet, dia juga hemat dan bersahaja, terlebih-lebih memiliki sepasang tangan yang terampil. Elevator perpustakaan di universitas yang pertama di rancang olehnya. Peralatan elektronik bermasalah di seluruh fakultas, dia yang memperbaikinya. Peralatan elektronik impor yang sangat rumit juga hanya ayah yang bisa membuatnya beroperasi dalam waktu singkat.
Ketika saya masih kecil, pernah men-dambakan mempunyai sepasang sepatu kulit yang indah, ayah mengetahui angan-angan saya itu. Dia diam-diam pergi ke toko barang bekas untuk membeli sepasang sepatu kulit bekas yang bergambar bunga, satu botol semir sepatu dan sepasang sol sepatu yang baru. Tak lama kemudian, sepasang sepatu kulit itu terlihat seperti baru. Ketika sepatu kulit itu dipakai diatas kaki, betapa gembiranya hati saya ini. Dari kecil hingga besar, tidak ada satupun masalah yang bisa menyulitkan ayah. Sepeda rusak diperbaiki sendiri, tidak ada lemari besar, bikin sendiri, peralatan elektronik dipasang sendiri, menjelang hari raya atau tahun baru, ayah akan membuat tahu lima rasa bagi keluarga. Tahu lima rasa buatan ayah, hingga sekarang masih sulit dilupakan.
Jika dipikir secara teliti, cinta kasih dari ayah dan ibu mempunyai rasa yang berbeda. Cinta kasih seorang ibu bagai air yang mengalir lirih meresap ke dalam segala aspek dalam kehidupan kita, membuat anak-anak lebih merasakan kehangatan dan lebih menggantungkan diri padanya. Sedangkan seorang ayah bagaikan sebuah pelabuhan yang aman untuk menghindari badai, setelah beristirahat dan diberikan semangat, perahu-perahu kecil ini mempersiapkan diri, menambah bahan bakar dengan cukup dan segala persiapan yang dibutuhkan.
Sudah bertahun-tahun Ayah menderita penyakit Parkinson. Dua tahun belakangan ini, penyakitnya berkembang cepat sehingga membuatnya terkulai di atas ranjang. Dia tidak rela untuk pergi. Seharusnya sudah saatnya dia untuk bisa menikmati hari tua, namun penyakit itu telah memaksanya pergi.
Yang paling disyukuri, pada Oktober tahun lalu, saya pulang ke kampung halaman khusus untuk merayakan perkawinan emas ayah dan ibu. Saya bersikukuh me-nyelenggarakan pesta itu di sebuah hotel yang disukai ayah, dan membelikannya sebuah kursi roda yang bagus.
Hari itu, ayah terlihat sangat gembira, dia yang selama ini hanya terkulai diatas ranjang, diluar dugaan pada pesta ulang tahun perkawinannya bisa duduk di kursi roda selama dua jam lebih, masih bisa bersulang merayakan pesta itu bersama-sama. Dalam pesta, ayah menggunakan tangannya yang gemetaran, membelai wajah ibu, air matanya berlinangan di kelopak mata, dengan suara lirih berkata pada ibu: "Perjalanan kita tidaklah mudah."
Memang benar, bergandengan tangan bersama melintasi segala badai kehidupan selama 50 tahun, memang tidaklah mudah, kami sebagai anak-anaknya bisa menjadi saksi.
Ayah telah pergi, saya bersedih dan menyalahkan diri sendiri. Berada di Amerika selama sepuluh tahun lebih, membuat saya dan ayah waktu berpisah lebih banyak daripada berkumpul. Jarang sekali ada waktu senggang menemani ayah, walaupun mempunyai waktu untuk menemaninya juga sudah tak bisa lagi, kesedihan dalam hati sepertinya tidak bisa dikibaskan pergi.
Ayah, dirimu diatas sana pasti akan tahu, dan mendengarkan suara hati dari putrimu ini. Saya mencintai ayah. Anda seorang ayah yang patut dipuji dalam dunia ini. Jika ada kehidupan mendatang, kami masih akan menjadi ayah dan anak. Saya akan benar-benar berbakti kepada Anda. Kita akan bertamasya keseluruh negeri Tiongkok, melihat pemandangan dan peninggalan zaman kuno, mendengarkan Anda bercerita sejarah dan legenda. Kami akan mencicipi segala makanan yang lezat diberbagai daerah, melihat kepuasan Anda saat minum bir, kepuasan Anda ketika menikmati makanan lezat. Kita masih akan berdebat, bertanding buah plum siapa yang paling besar. Kami masih akan berebut mengajak ibu jalan-jalan, pergi melihat bunga….. Kehidupan mendatang, Anda tidak akan sengsara lagi, tidak akan ada penyakit, Anda akan hidup sehat, bahagia dan berkecukupan!
Ayah, kami mencintaimu! Walaupun sekarang kami berada dalam alam yang berbeda, tetapi hingga saat ini, saya baru benar-benar memahami apa yang dikatakan hidup dalam hati. [Tjang Yen Ping / Jakarta]