Dua bulan belakangan ini setelah saya meninggalkan tempat kerja dan kembali ke sekolah, saya merasakan merupakan hari-hari yang paling bergairah, seperti tumbuhan di bawah sinar mentari, daunnya hijau berminyak, penuh vitalitas kehidupan, tidak demi tujuan apapun.
Saya akhirnya bisa melihat dengan seksama bayangan yang terombang-ambing tidak menentu diatas meja tulis saya, keindahan bunga-bunga kecil yang bermekaran di pinggir jalan, masih ada anjing kecil yang menunjukkan niatan baiknya kepada saya, ketakjuban terhadap dunia yang ada di dalam mata anjing kecil itu. Semua ini sudah cukup membuat saya berseri dalam waktu yang lama, memuji keindahan alam ini.
Suatu sore menjelang matahari terbenam, saya berjalan di sebuah jalanan kecil di belakang rumah untuk melihat matahari terbenam, berjumpa dengan seorang guru di saat saya masih di taman kanak-kanak.
Pertama-tama guru itu tidak berani memastikan saya adalah muridnya, setelah saya berinisia-tif menyapa guru itu, dia terlihat penuh kegembiraan, diluar dugaan guru itu menyanyikan sebuah lagu yang ketika itu untuk diperlombakan bersama dengan dua teman sekolah saya.
Hal ini merupakan sebuah kenangan yang tak bisa dilupakan: ketika itu, kami bertiga masih belia, tidak mengerti apa yang dikatakan tegang, masih bisa dengan pikiran kacau meraih juara satu, mendapatkan hadiah sebesar seribu dollar. Setiap orang mendapatkan tiga ratus dollar, sisanya seratus kami belikan bingkisan yang diperuntukkan guru yang kini berada di depan saya. Saya mendengarkan guru tersebut menyanyikan lagu itu, sinar matahari senja menyinari wajahnya yang bersahaja, sungguh terasa menarik sekali.
Saya benar-benar harus berterima kasih kepada pena saya ini, di saat saya sedang muram selama beberapa tahun ini, de-ngan air mata sebagai tinta, dia mendampingi saya hingga saat ini. Saya juga tahu ketika saya mene-ngok ke langit biru, ketika saya menghitung garis jajaran genjang di atas gunung sana, saya akan melewati setiap hari dengan ketulusan hati. [Diana Chuang / Kendari]