KEHIDUPAN | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 23 April 2012

BERHENTI, MELIHAT, MENDENGAR

Sewaktu saya masih kecil, ketika kereta api akan melewati persimpangan kereta api, penjaga kereta api akan menurunkan palang kereta api, untuk menghindari terjadinya kecelakaan.

Palang kereta api biasanya tergantung di atas, tetapi di Taiwan, ada sebuah papan rambu di depan palang kereta, yang tertulis: "Berhenti, Melihat, Mendengar". Tiga kata ini untuk memperingatkan pengendara dan pejalan kaki yang lewat, memperhatikan apakah ada kereta api yang akan lewat di sana.

Dalam hati saya pernah berpikir : "Berhenti, Melihat, Mendengar" tiga kata ini, jika diterapkan dalam pergaulan atau hubungan antar manusia, sebenarnya sangat sesuai. Bisa mengurangi timbulnya bentrokan atau perselisihan, juga mengurangi perilaku yang suka memukul dan memaki orang seenaknya. Di bawah ini ada dua kisah kecil, yang bisa mendukung pemikiran saya.

Ada seorang ibu menelepon seorang arsitek yang merancang rumahnya, bahwa tempat tidurnya dapat bergeser ketika kereta api lewat. Arsitek itu menjawab: "Ini tidak mungkin! Coba saya buktikan sendiri." 

Setelah arsitek itu tiba di sana, ibu itu memberi saran kepadanya untuk berbaring di ranjangnya, agar mengalami sendiri saat kereta api lewat nanti. Baru saja arsitek itu rebah di atas ranjang, suami ibu itu kebetulan pulang ke rumah. Melihat pemandangan itu, sang suami menghardik dengan keras: "Mengapa Anda berbaring di ranjang saya?" Dengan suara ketakutan arsitek itu menjawab: "Apakah Anda percaya, jika saya katakan sedang menunggu kereta api?"

Peran sang suami dalam cerita ini, sudah sewajarnya menggunakan pengalamannya untuk menganalisa kondisi yang dia lihat. Memahaminya berdasarkan pemikirannya sendiri: arsitek tersebut telah berselingkuh dengan istrinya. Siapa pun orangnya, walau dia memiliki daya khayal yang tinggi, juga sulit memahami bahwa seorang arsitek masuk ke kamarnya dan berbaring di ranjang hanya untuk menunggu kereta api lewat.

Ada sebuah lelucon serupa:

Suatu pagi, ada seseorang naik bis umum, merogoh sakunya bersiap memasukkan uang koin senilai 10, tetapi dia menemukan hanya ada sebuah koin bernilai 50, jika uang tersebut dimasukkan ke kotak, maka ia tidak akan menerima uang kembaliannya, sehingga siang itu dia pasti harus menahan lapar. Akhirnya, dia menjelaskan kesulitannya kepada sopir bis itu, dan meminta izin untuk menarik ongkos dari 4 orang penumpang lain saat dipemberhentian selanjutnya, sebagai uang kembaliannya senilai 40 dollar.

Sopir bis memahami kesulitannya serta mengabulkan permintaan orang tersebut. Karenanya, orang tersebut lantas menarik uang koin sebesar 10 dollar kepada empat penumpang di pemberhentian bis selanjutnya. Ketika dia menarik ongkos bis kepada penumpang keempat, kebetulan penumpang tersebut berdandan seperti seorang berandal. Oleh karena terburu nafsu mengumpulkan uang kembaliannya, orang itu tidak mengamati wajah penumpang yang berpenampilan berandal itu dengan saksama, dan serta-merta berkata: "Berikan uang 10 Anda kepada saya!" Namun penumpang tersebut otomatis bereaksi dengan mengatakan: "Berdasarkan apa Anda meminta uang kepada saya?"

Ketika kedua orang tersebut bersitegang, semua penumpang diatas bis tidak sabar lagi untuk menunggu, secara serempak berteriak: "Berikan uang itu kepada dia!" Penumpang yang berdandan seperti berandal ini terkejut dan heran, dengan patuh ia memberikan dompetnya kepada orang tersebut, lalu turun dari bis, dan berteriak keras: "Seumur hidup berkelana di dunia hitam, baru kali ini menemui seluruh bis adalah perampok!?"

Dua kisah diatas ini menjelaskan konflik dalam pergaulan manusia, sebagian besar disebabkan oleh kesalah-pahaman. Dikarenakan setiap orang berdasarkan pengalaman pribadinya memahami situasi yang mereka hadapi. Karena perbedaan pemahaman dari masing-masing orang terhadap situasi yang mereka hadapi, oleh sebab itu kesalah pahaman ini terjadi, konflik dan pertengkaran juga menyertainya.

Jika awalnya kedua belah pihak bisa "Berhenti, Melihat, Mendengar", maka adegan selanjutnya seperti pertengkaran atau akibat yang lebih besar lagi seperti terluka, bisa dihindarkan.

Kira-kira tujuh tahun lalu, di dalam otak saya, pada bagian saraf pendengaran tumbuh tumor. Walaupun jinak, tetapi efek dari operasi itu:

Saya memiliki gangguan pendengaran; Saraf wajah sebelah kanan dipotong, sehingga menyebabkan selaput tanduk mata dibuka dan ditutup untuk beberapa kali dan menyebabkan pandangan kabur; Otak kecil juga terluka, keseimbangan tubuh hilang. Oleh karena itu, setiap keluar rumah untuk membeli barang kebutuhan harus me-ngendarai mobil, dan harus dikemudikan perlahan-lahan.

Di dalam keramaian kota, mengemudikan mobil dengan perlahan-lahan, sering kali diklakson oleh mobil di belakang yang tidak-sabaran, saya malah tidak tahu sama sekali. Suatu ketika mobil saya dipaksa berhenti di pinggir jalan oleh pengemudi mobil belakang. Kelihatannya orang itu bertampang bengis, mengepalkan kedua tangannya dan berteriak dengan keras. Tetapi ketika pengemudi mobil yang marah itu melihat kartu orang cacat yang terletak di kaca mobil depan, serta wajah saya yang miring, kemarahannya langsung mencair dan wajahnya juga berubah jadi ramah.

Selanjutnya saya mengatakan kepada pengemudi tersebut bahwa saya memiliki cacat pendengaran, tidak mendengar suara klakson, mengemudikan mobil dengan mata tunggal, jadi tidak bisa cepat. Orang itu segera mengangguk-anggukkan kepala, melambaikan tangan meminta maaf. Jika pengemudi tersebut tidak "Berhenti, Melihat, Mendengar", langsung mengeluarkan pistol, menembak ke arah saya, maka sejak awal saya sudah kembali ke sisi Tuhan!

Saya sering berpikir, ketika konflik diantara manusia, jika seseorang sebelum "memukul atau mencaci orang lain", bisa berhenti sejenak, lalu melihat keadaan orang lain, serta mau mendengar alasan yang dikatakan orang lain, maka cacian dan perkelahian itu bisa dihindari. Selain itu, jika sering kali menemui pengalaman seperti ini, maka empati orang tersebut juga akan bertambah, lama kelamaan, rasa belas kasihnya juga akan berangsur-angsur berkembang.

Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah melakukan "Berhenti, Melihat, Mendengar", melihat orang lain tidak searah dengan hatinya, langsung mengarahkan tombak keluar, diayunkan ke arah lawan. Maka orang tersebut mungkin tidak ada kesempatan untuk belajar berempati. Dalam jangka waktu panjang orang tersebut, mungkin akan menjadi mati rasa (tidak berperasaan), dingin, hatinya keras bagaikan batu dan besi.

Baru-baru ini membaca sebuah artikel yang disebar di internet Tiongkok. Artikel itu berjudul "1,3 miliar orang sedang menangis!" Saya percaya banyak netter daratan Tiongkok yang sudah membaca artikel tersebut. Isinya menceritakan, seorang pegawai cacat membeli karcis anak-anak menumpang kereta api, ditemukan oleh dua petugas pria dan perempuan.

Pegawai cacat tersebut menjunjung tinggi-tinggi kakinya yang cacat, agar dilihat oleh petugas itu, serta berkata, "Karena tidak ada uang membeli karcis dewasa, maka saya membeli karcis anak-anak, uang untuk membeli karcis anak-anak itu juga berkat bantuan dari teman saya." Orang cacat tersebut memohon dengan sangat agar dua petugas tersebut bisa memberikan kelonggaran. Namun tak disangka, kedua petugas tersebut serentak berkata, "Tidak ada kartu cacat, tidak bisa membeli karcis orang cacat ataupun karcis anak-anak!"

Ada seorang penumpang yang tak tahan melihat situasi itu, lantas berkata: "Apa Anda punya peraturannya?!"

Dengan marah petugas itu berkata, "Tampang saya seperti manusia! Mengapa bukan manusia?" Penumpang itu melanjutkan berkata, "Sebenarnya Anda bukan, karena tidak mempunyai aturan, maka Anda bukan manusia! Karena Anda tidak mempunyai hati manusia, Anda sama sekali bukan manusia!"

Kesimpulan, "Berhenti, Melihat, Mendengar", perilaku yang sederhana tersebut, merupakan titik krusial yang membedakan: mengembangkan sifat ke-Buddha-an (empati dan welas asih) ataukah menunjukkan sifat keiblisan (dingin tidak berperasaan dan berhati keras bagaikan besi). [Oleh: Huang JinYuan]

* Sumber: Google Search Engine

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA