Terkadang dalam perjalanan hidup ini hal-hal yang kecil atau suatu pemandangan yang terlihat di depan mata, selalu membuat saya teringat kepada mama serta waktu yang saya lalui bersama mama.
Mama saya suka mendongeng, ketika saya masih kecil pada malam musim panas kami sekeluarga selalu duduk dipekarangan rumah mencari angin serta mendengar dongeng mama.
Mama selalu mempunyai dongeng untuk diceritakan kepada kami. Pada waktu kecil, saya paling gemar mendengar dongeng mama, terutama di malam musim panas. Saya selalu terlena seolah-olah menjadi tokoh didalam dogeng yang diceritakan mama, setelah dongeng habis, saya selalu masih terlena didalam dongeng tersebut.
Pada akhir-akhir ini saya teringat kepada mama ketika sedang menonton acara malam tahun baru yang disiarkan oleh New Tang Dynasty TV (NTDTV) dimana cerita mengenai "Singa batu yang bermata merah". Di dalam cerita ada seorang nenek yang baik hati, yang sangat taat kepada dewa memberikan sedekah kepada seorang pengemis yang bajunya compang camping.
Pengemis ini yang merupakan jelmaan dari seorang Bodhisatwa kepada nenek tua ini berpesan, ketika singa batu yang berada di desa matanya berubah merah maka harus segera mengungsi ke atas gunung.
Nenek yang baik hati ini segera menyampaikan kabar tersebut kepada penduduk desa, tetapi kebanyakan penduduk desa tidak percaya kepadanya, bahkan ada yang jahil sengaja melukis mata singa menjadi merah untuk mempermainkan nenek tua ini.
Tidak berapa lama kemudian langit mulai gelap, petir menyambar, turun hujan deras air bah menerjang desa tersebut. Orang jahat dan orang-orang yang tidak percaya kepada perkataan nenek tua ini diterjang air bah, hanya mereka yang percaya yang naik keatas gunung yang selamat. Ini adalah sebuah cerita dogeng, tetapi cerita ini mengajarkan kepada kita, berbuat baik akan mendapat balasan baik, berbuat jahat akan mendapat karma.
Cerita ini mengingatkan saya kepada ibu saya, karena ibu saya selalu menceritakan dongeng yang mirip dengan ini. Didalam ingatan saya, cerita yang paling berkesan adalah sebuah dongeng tentang seorang pengembala domba.
Diceritakan bahwa dahulu kala, ada seorang anak pengembala domba setiap hari mengembalakan dombanya diatas gunung, setiap hari dalam perjalanannya menaiki gunung dia melalui ladang gandum, dia suka mengambil cambuknya untuk mencambuk batang-batang pohon gandum.
Para orang tua didesanya selalu menasehatinya tidak boleh melakukan hal tersebut, karena bisa disambar petir, tetapi anak pengembala domba ini tidak percaya. Setelah waktu berlalu cukup lama, anak pengembala domba ini entah telah mencambuk berapa banyak pohon gandum, penduduk desa juga sudah melupakan hal tersebut.
Pada suatu hari hujan deras petir menyambar terus menerus, suara petir yang keras terdengar terlihat anak pengembala domba tersambar petir didepan jalan desa. Penduduk desa melihat diatas badan pengembala domba ada tulisan besar, "Mencambuk pohon-pohon gandum."
Dongeng yang diceritakan ibu biasanya mengenai perbuatan baik dan jahat akan mendapat balasan, kakak kedua saya sering bertanya, apakah dongeng tersebut benar-benar terjadi ? ibu selalu dengan serius menjawab, tentu saja benar-benar terjadi. Saya tidak tahu apakah orang-orang sekarang percaya kepada cerita dongeng.
Walaupun kemudian waktu sudah berjalan lama, tetapi kesan saya masih sangat mendalam terhadap setiap dongeng yang diceritakan oleh ibu yang mengajarkan saya untuk selalu berbuat baik dan percaya adanya Tuhan dan pembalasan. [Betty Sung / Palembang]